Sekitar dua bulan setelah aku dan Onju merayakan kelulusan, Uma juga telah dinyatakan lulus dari sekolahnya dengan nilai yang sangat memuaskan. Dia begitu gembira ketika memamerkan nilai raport dan nilai ujiannya, Uma juga memberitahu bahwa dirinya mendapat beberapa beasiswa di beberapa universitas ternama, salah satunya adalah di Jerman. Sayangnya, ibuku tidak mengizinkan Uma pergi ke luar negri, jadi dia terpaksa memilih universitas dalam negri, meskipun tetap harus tinggal terpisah dengan kami. Dia memilih beasiswa yang ada di Semarang.
Di sekolahnya Uma, tidak mengadakan perayaan, diganti dengan jalan-jalan. Uma tidak ikut acara itu, sibuk belajar untuk persiapan masuk universitas. Dan untuk pertama kalinya, dia pergi meninggalkan rumah sebulan kemudian.
Saat mengantarnya ke terminal bis, hatiku terasa terkikis. Uma memeluk Ibu dan Ayah sembari menangis. Dia juga memelukku sangat erat tanpa menghentikan air matanya, lalu memeluk Onju sebagai yang terakhir mengantarkannya. Ibu dan Onju juga meneteskan air mata, sementara aku menggigit bibir bawahku, menahan agar tidak ikutan menangis. Aku tidak mau terlihat cengeng dihadapan Uma dan Onju.
Ibuku menitip pesan agar Uma menajaga dirinya baik-baik di sana, begitu juga dengan Ayah yang tak jauh berbeda. Aku sendiri tak mengucapkan salam perpisahan, tidak terbiasa untuk itu. Karena walau tanpa kata-kata, kuyakin Uma mengerti akan perasaanku padanya, begitu juga sebaliknya dengan Uma padaku.
Kami tidak beranjak pergi sampai bis yang dianaiki Uma benar-benar hilang dari pandangan. Lalu, Ayah menarik bahuku dan Onju untuk segera pulang.
Setelah kembali ke rumah, suasana hatiku sangat buruk dan tak ingin diganggu, aku langsung masuk kamar dan tengkurap sembari menenggelemkan wajah ke dalam bantal.
Terdengar suara pintu kamar dibuka, tapi aku tak mempedulikannya. Bisa kurasakan seseorang duduk di sebelahku. "Bran," suara Onju dengan sangat jelas memanggil namaku.
"Hm." Aku tak merubah posisi sedikit pun.
"Ada surat."
Aku mengangkat wajah sedikit agar mulutku bisa bergerak. "Surat apaan?"
"Surat dari Kak Uma."
Segera aku bangkit, kulihat Onju memegang secarik kertas di tangannya. Dia memberikan surat itu dan aku mengambilnya. Namun, setelah kubaca apa yang tertulis di sana, kesedihanku hilang seketika.
"Pasti lagi nangis, dasar cengeng," surat dari Uma.
"Sok tau," ujarku, langsung melempar kertas sialan itu.
Tak lama kemudian, hari pertama masuk SMEA tiba. Seperti biasanya, aku berangkat bersama Onju, masih mengenakan seragam putih biru. Di sana kami tak menemukan begitu banyak teman dari SMP yang sama. Teman yang kami temukan juga bukan teman dekat, hanya sebatas kenal di sekolah.
Aku dan Onju terpisah saat harus berbaris di lapangan, kami di bagi ke beberapa kelas untuk ikut ujian formalitas, mengecek ulang kecerdasan akademik kami. Ya, hanya formalitas. Uma pernah menceritakan rentetan kegiatan yang akan aku laksanakan ketika masuk ke sekolah ini. Setelah tes itu selesai, kami diperbolehkan pulang sekitar jam dua belas siang.
Hari kedua juga tak begitu menarik, hanya pengumuman untuk kegiatan MOS (Masa Orientasi Siswa)—atau lebih dikenal MPLS pada generasi berikutnya—yang akan dilaksanakan selama tiga hari ke depan.
MOS adalah salah satu hal yang kubenci dari sekian banyak kegiatan sekolah yang menyebalkan. Bagaimana tidak, aku yang menjaga kewarasanku selama hidup harus bertingkah seperti orang gila dengan mengenakan tas dari karung, tali sepatu dan ikat pinggang dari rapia, serta memakai topi bola dan membawa papan nama yang dikalungkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Mine
Teen FictionGibran dan Onju selalu bersama sejak kecil, bahkan selalu berada di satu sekolah yang sama. Hubungan persahabatan mereka baik-baik saja, Gibran juga menjembatani hubungan asmara antara Onju dan Bam, yang tak lain masih temannya juga. Suatu hari, Gib...