Gibran. Singkatan dari ganteng, idaman, berani dan menawan. Entah apa alasan orangtuaku memberi nama demikian. Aku tidak tahu artinya dan tidak pernah mencaritahu. Aku tidak menyukai namaku, tapi tak membencinya juga. Aku hanya berharap jika aku dilahirkan dengan nama Nicholla Tesla, agar memiliki kecerdasan luar biasa, atau Fira'un Ramses II. Tak apa menjadi raja jahat, tetapi memiliki tahta dan kekuasaan bagiku sangat hebat. Aku ingin menjadi orang yang terkenal dalam bagian sejarah dunia.
Aku terlahir sebagai anak kedua, setelah kakak perempuanku yang bernama Aruma Natalia. Dalam ruang lingkup keluarga, dia biasa dipanggil Uma. Dia memiliki paras indah yang menawan, bibirnya sexy, matanya besar dan hitam, apalagi suaranya lembut, terkadang aku berpikir untuk menikahinya saja, bilamana aku tidak pernah mendapat jodoh di masa depan.
Uma mewarisi sifat baik orangtuaku, seperti pintarnya ibuku dan rajinnya ayahku. Sedangkan aku kebalikannya, aku mewarisi sifat pemalas ibuku dan kebodohan ayahku. Bukan maksud merendahkan, tapi ayahku memang tidak pintar, dia selalu memikirkan hal-hal tidak penting seperti mana yang lebih dulu antara ayam atau telur, bagaimana cara memasukkan gajah ke dalam kulkas, atau sibuk memperhatikan kucing berkawin.
Meski terdengar seperti anak kurang ajar, aku sangatlah patuh terhadap orangtua. Aku tidak pernah melawan saat ibuku mengomel, paling hanya menutup telinga. Aku juga tidak pernah membantah perintah ayah, namun sering mengabaikannya.
Sejak kecil, aku tak memiliki bakat atau keahlian yang berguna. Aku tidak pandai di kelas, aku tidak suka berolahraga, aku jarang berbicara—mungkin, dan lebih sering menghabiskan waktu untuk bermain game di kamar. Satu-satunya bakat yang bisa kubanggakan adalah selalu bisa merasa baik-baik saja.
"Gak perlu nilai bagus, cukup kamu sehat aja ibu udah senang," ucap ibuku saat aku mulai mengeluh tentang mengapa aku tidak bisa sepintar Uma dan dirinya.
Aku juga sering mengeluarkan keluh kesah pada ayahku. "Aku payah dalam olahraga. Kayaknya aku bukan laki-laki."
"Laki-laki gak perlu selalu jago olahraga. Yang penting itu, ini." Ayah meletakkan telunjuk di dadaku.
"Payudara?" tanyaku spontan. Dan ketika mengatakan itu, aku bisa melihat dengan jelas ayahku menahan tawa, Uma menahan kesal, dan ibuku menahan serangan negara api.
Ayah menggeleng cepat. "Laki-laki itu, yang penting berjiwa besar."
"Ayah berjiwa besar?"
Ayahku mengangguk.
"Kok Ayah pendek?"
Meski kelihatannya orangtuaku bisa menerima dengan lapang dada, aku bisa membaca dengan jelas harapan lebih yang mereka bebankan padaku. Walau tak diucapkan, aku bisa melihatnya secara gamblang.
Ibuku adalah bintang kelas yang pintar dan kreatif, sementara Ayah sangat pandai dalam atletik. Hal itu juga yang membuat mereka bisa bersama mulai dari SMA, Ibu yang selalu juara dalam bidang akademik, dan Ayah merupakan seorang atlit. Keduanya adalah perpaduan yang sempurna, sayangnya aku merasa bahwa diriku bukan anak kandung mereka.
Sewaktu masih kelas satu SD, Uma sering mengejek dan mengatakan bahwa aku ditemukan di tong sampah dan dipungut saat bayi. Dia senang menggodaku begitu, lalu tertawa keras-keras saat aku kesal dan marah. Namun pada saat umurku menginjak belasan, aku mulai tidak marah akan candaan yang Uma lontarkan, justru aku mulai merasa bahwa apa yang dikatakannya adalah benar. Tak ada sedikitpun kemiripan antara aku dengan orangtuaku. Contoh paling sederhana saja, aku seratus kali lebih tampan daripada Ayah.
Jika kamu mengira aku bersedih ketika menceritakan hal ini, itu salah besar. Aku memang sering mengeluh tentang diriku dan merasa rendah diri, hal itu semata-mata karena aku memiliki sosok kakak yang begitu sempurna. Sulit untuk hidup dibawah bayang-bayang seorang kakak perempuan yang mahir dalam segala hal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Mine
Teen FictionGibran dan Onju selalu bersama sejak kecil, bahkan selalu berada di satu sekolah yang sama. Hubungan persahabatan mereka baik-baik saja, Gibran juga menjembatani hubungan asmara antara Onju dan Bam, yang tak lain masih temannya juga. Suatu hari, Gib...