Rumahku dan Onju tak begitu jauh, hanya terpisah oleh sekitar sepuluh rumah saja. Karenanya, Onju akan datang setiap pagi untuk menemputku pergi sekolah bersama, datang untuk bermain atau belajar, juga sering mengantarkan makanan. Sebaliknya, aku juga sering disuruh mengantar barang atau makanan ke rumah Onju, untuk menjaga silaturahmi kedua orangtua kami yang terjaga dengan sangat baik.
Aku tidak keberatan dengan tempat tinggal kami yang berdekatan. Hanya saja, aku was-was, hal itu akan membuat informasi mudah tersebar—maksudnya informasi tentang kelakuanku di sekolah. Onju bisa saja membocorkan kenakalan-kenakalan yang kulakukan, untungnya dia bukan tipikal gadis bermulut ember.
Onju hampir tidak pernah melaporkan apa yang terjadi tentangku di sekolah. Dia lebih sering memarahiku seolah aku ini adiknya, menceramahi dan mengatakan hal-hal membosankan.
"Sampe kapan mau begini? Gimana kalo ibumu tau?" Onju kesal padaku saat aku dipanggil ke kantor, karena ketahuan merokok.
"Kalo ibuku tau, pasti dia bangga." Kami tengah berjalan pulang waktu itu.
"Bangga palamu. Mau kulaporin?"
"Janganlah," jawabku cepat. "Aku janji gak akan lagi-lagi kayak gitu."
Onju menatapku. "Kayak gitu gimana? Gak lagi-lagi merokok?"
"Gak lagi-lagi ketahuan, kalo ngerokok." Lalu kepalaku ditempeleng oleh si pendek itu.
Pernah suatu hari aku melakukan kesalahan fatal, dimana wali kelas memberiku surat cinta yang harus diberikan pada orangtua. Itu bukanlah hal baik, anak kecil pun pasti akan mengerti. Aku tidak masalah untuk membiarkan guru mengundang Ibu atau Ayah ke sekolah, tetapi aku tidak ingin gendang telinga pecah harus mendengarkan omelan ibuku setelahnya.
"Lu gimana?" tanyaku pada Aldi, karena menghadapi masalah yang sama.
"Gak bakal gua kasih. Nyokap gua di arab, bapak gua di tanah."
"Bener juga."
Pada awalnya aku berniat melakukan hal yang sama seperti Aldi, tetapi orangtuaku ada di rumah, tidak di arab maupun di tanah. Lambat-laun panggilan ini pasti sampai ke mereka, akan lebih merepotkan bila wali kelasku yang justru datang ke rumah.
Dengan kecerdasan yang kumiliki, pada akhirnya aku datang ke Pak Nanang untuk mencari solusi. Fyi, Pak Nanang adalah tukang ojek pangkalan yang berada sekitar 200 meter dari rumahku. Umurnya dibawah orangtuaku, tetapi wajahnya yang boros menjadikannya terlihat lebih tua. Dan pada akhirnya, aku memutuskan membawa Pak Nanang untuk berpura-pura menjadi waliku.
"Bilang aja entar bibi atau nenek saya, Pak," ujarku saat merayunya.
"Euhhh." Dia melakukan gerakan seolah akan menamparku—hanya gurauan. "Saya kan cowok, ari kamu," ucap Pak Nanang dengan logat sundanya yang khas.
"Emang gak ada niatan jadi cewek, Pak?"
"Kamu mau saya potong, biar jadi cewek?"
"Terimakasih tawarannya."
Setelah negosiasi panjang lebar yang hampir gagal, akhirnya Pak Nanang setuju membantuku sesuai harga yang telah disepakati. Dia datang bersamaku di pagi hari berikutnya, mengenakan batik dan celana bahan warna hitam. Aku sempat kesal, tapi tak mau mempermasalahkan gaya berpakaiannya yang memakai kacu pramuka.
Baju batik biru, celana hitam, dan kacu pramuka? Yang benar saja.
Karena masih pagi, belum begitu banyak murid dan guru yang datang. Bahkan Onju juga belum ada, aku meninggalkannya hari itu, membiarkan ia pergi sendirian. Lalu setelah beberapa saat menunggu di depan kantor bersama Pak Nanang, Onju tiba-tiba muncul.
"Tumben kamu pagi-pagi udah ilang, kirain mau bolos," ucapnya. Sedetik kemudian dia menyadari ada orang yang dia kenali. "Pak Nanang?"
Pak Nanang hanya mengangguk kecil seraya melempar senyum, membiarkan Onju larut dalam kebingungan hingga dahinya mengkerut. Perihal masalah yang membuatku harus membawa Pak Nanang, Onju tidak tahu—aku merahasiakannya.
Rencana itu berhasil, Pak Nanang yang berpakaian aneh ternyata sangat pandai dalam berpura-pura menjadi pamanku. Dia dengan lihai merangkai kata demi kata, juga mengarang cerita untuk mengelabui guru, membuat mereka begitu percaya akan apa yang diucapkannya. Sedang untukku, sepanjang pembicaraan antara wali kelas dan Pak Nanang, aku hanya menahan tawa.
Sampai saat ini, tidak ada yang mengetahui kelakuanku tersebut, kecuali diriku, Pak Nanang, dan Yang Maha Kuasa.
Kelakuan burukku tersebut menjadi kenakalan terakhir yang kulakukan di SMP, aku tak berbuat onar lagi, karena sudah mendapat dua kali surat peringatan dari sekolah. Aku mulai fokus belajar, tidak nongkrong bersama kawan-kawanku, dan lebih sering menghabiskan waktu bersama Onju diluar jam pelajaran dan diluar jam sekolah.
Tiba saatnya naik ke kelas 3. Akademikku meningkat dan berhasil dipindahkan ke kelas C. Sayangnya, Onju jatuh sakit untuk waktu yang lama pada akhir semester kelas 2, nilainya turun drastis dan ia terpaksa turun ke kelas C.
Aku senang bisa satu kelas dengan Onju, hal itu akan memudahkanku untuk mencontek dalam ulangan. Namun hal serupa tidak terjadi padanya, Onju tampak murung dan jadi lebih pendiam sejak diturunkan. Kami kembali duduk satu bangku, tapi selama satu bulan di tahun ketiga belajar, Onju benar-benar seperti orang yang tidak kukenal.
"Kenapa sih, sedih amat cuma perkara di pindah ke kelas C."
Onju melirik sinis. "Berisik."
"Harusnya kamu bersyukur, apakah kamu tidak bahagia kembali satu bangku dengan sahabatmu yang tampan menawan ini? Kita sudah terpisah 2 tahun."
"Bisa diem gak?"
"Enggak."
"Lagi bt, gak usah ganggu-ganggu." Onju melipat kedua lengan di dadanya yang mulai tumbuh, memunggungiku kemudian.
"Gak perlu terlalu dipikirin, gak ngaruh di kehidupan. Lagian cuma masalah kelas," ucapku menegaskan. "Siapa sih, yang bikin sistem kasta kayak gini? Gak bener ini, namanya membuat seolah-olah perbedaan antara murid satu sama murid lain.
"Lagian pinter gak cuma di pelajaran doang. Banyak juga pelajaran yang gak ngefek sama kehidupan setelah nanti lulus. Banyak orang pinter yang gak jadi apa-apa, dan banyak juga murid yang dianggap gak berguna setelah lulus bisa sukses," ujarku, "kalo orangtuanya kaya."
Entah apa yang lucu, tapi setelah mendengar celotehanku Onju tiba-tiba tertawa. Dia langsung menoleh, masih dengan sisa tawanya yang belum selesai.
Aku kebingungan melihatnya, sedikit memiringkan kepala. "Kenapa?"
"Lucu."
"Ha? Apaan yang lucu?"
"Mukamu."
"Mukaku?" Keningku mengernyit. "Mukaku kenapa?"
"Kayak monyet."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Mine
Teen FictionGibran dan Onju selalu bersama sejak kecil, bahkan selalu berada di satu sekolah yang sama. Hubungan persahabatan mereka baik-baik saja, Gibran juga menjembatani hubungan asmara antara Onju dan Bam, yang tak lain masih temannya juga. Suatu hari, Gib...