6. Bam

0 0 0
                                    

Tidurku kurang nyenyak akhir-akhir ini, aku terbangun setiap malam setelah bermimpi aneh tiga hari berturut-turut. Saat keluar dari kamar kos, langit masih gelap dan penghuni lain sepertinya masih tertidur pulas. Namun terdengar juga suara air menyala, sepertinya seseorang tengah mengambil wudhu untuk melakukan tahajud atau semacamnya.

Akiu membawa rokok, botol minum, serta laptop ke balkon. Rembulan tidak tampak sama sekali, hanya gelap yang pekat di atas sana, namun jauh dari pandangan mata, kota jakarta masih sangat terang oleh cahaya lampu-lampu yang bersinar.

Kulihat pesan WA dari Bam yang memamerkan kekasihnya. Aku tersenyum seketika, ikut bahagia untuknya. Namun di sisi lain, aku mengingat kenangan yang terkadang membuatku kesal padanya, tetapi aku berusaha untuk tidak mencampur masa lalu dengan hubungan persahabatan kami yang sekarang benar-benar dekat.

Kisah lama yang telah berakhir itu sedikit menggores perasaanku, aku merindukan banyak hal darinya. Jujur, aku tak bisa menyembunyikan keresahan hatiku yang mengganggu, dan tanganku tak tahan lagi untuk mencurahkan semuanya. Aku membakar rokok, menyalakan laptop, kemudian membiarkan jemariku menari keyboard.

—o0o—

Aku bukan orang yang membatasi pergaulan atau memilih-milih teman, tetapi dari dulu temanku tak begitu banyak, dan yang benar-benar dekat paling hanya satu atau dua orang. Saat SD, aku hanya dekat dengan Onju, aat SMP, aku lebih sering nongkrong dan bermain bersama banyak orang, namun yang kurasa benar-benar jadi teman di saat susah dan senang, hanya Aldi seorang. Jadi, saat masuk SMEA—sama seperti SMA—aku tak berharap akan memiliki teman banyak.

Seperti pada umumnya, di dalam organisasi kelas harus ada ketua kelas dan yang lainnya. Pada saat itu, kandidat ketua kelas ada dua orang. Kandidat pertama adalah Glen, dia mantan atlit sekolah saat SMP, hebat dalam olahraga apapun dan bisa berbaur dengan baik, tingginya tak lebih dariku, namun berisi. Sedang satunya bernama Bam, tak ada sesuatu yang menonjol darinya, namun Bam memiliki sesuatu yang diperlukan seorang pemimpin, yaitu kharisma.

Meski memakai kacamata dan bajunya selalu dimasukkan, Bam tidak terlihat culun sama sekali. Aku memandangnya seperti seorang yang benar-benar keren dan percaya diri, dia juga pandai berbicara dan pembawaannya sangat tenang. Setidaknya begitulah penilaian pertamaku padanya.

Wali kelas ingin mengadakan pemilihan dengan cepat, jadi kami hanya perlu mengangkat tangan untuk menentukan ketua kelas kami. Saat nama Glen disebut, seluruh siswa mengangkat tangannya kecuali aku. Dan pada saat Bam disebut, seluruh murid perempuan mengangkat tangan.

"Gibran, kenapa gak angkat tangan?" tanya wali kelas.

"Angkat tangan atau enggak, hasilnya tetap sama, Bu." Karena, jumlah siswi lebih banyak daripada siswa.

Dan dengan pemungutan suara itu, Bam menjadi ketua kelas.

Aku tak masalah siapapun yang menjadi ketua kelas, bagiku itu hanyalah formalitas. Akan tetapi, Bam sangat bertanggung jawab dan melakukan tugasnya dengan baik. Dia peduli pada teman-temannya, selalu menanyakan kabar setiap murid yang tidak masuk kelas, menyampaikan apa yang disampaikan guru kepada kami melalui perantaranya, dan dapat memecahkan masalah yang terjadi di kelas kami.

Meski dengan tanggung jawabnya sebagai ketua kelas, Bam bukan orang yang akan dibenci oleh siswa lain, hubungan Bam dengan kami benar-benar dekat. Kami sering nongkrong bersama dan berteman baik satu sama lain. Bam tidak cepu dan tak mempermasalahkan orang yang melanggar aturan, dengan syarat tidak ketahuan dan tidak terlalu mencoreng nama baik kelas.

Suatu waktu, aku dan Bam pergi ke kantin bersama. Kami berdua memesan makan dan minum yang sama, sembari mengobrolkan hal-hal kecil sederhana.

"Oh ya, pendaftaran OSIS bentar lagi buka, lo ikut gak?" tanya Bam setelah banyak hal kami bicarakan.

Not MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang