Matahari baru saja muncul di ufuk timur. Pancarkan cahaya sampai sepasang mata bulat itu menyipit karena silau. Haechan berdiri di balkon kamar hotel, menikmati udara pagi dan sunrise, serta pantai di bawah sana.
Ia pejamkan matanya, rasakan udara dingin dan hangatnya sinar matahari yang mengenai kulit coklat madu miliknya.
Damai. Tanpa keramaian, tanpa kerjaan, juga tanpa Jaemin.
Haechan sudah dua hari ambil cuti libur yang dilakukannya secara mendadak. Ia putuskan keluar kota sendirian, mencari kenyamanan dan menyegarkan pikiran yang akhir-akhir ini cukup buatnya sakit kepala.
Ponselnya bahkan sudah tidak aktif terhitung dari kemarin lusa. Sore nanti mungkin akan dia nyalakan. Untuk pekerjaannya di handle sang sekretaris selama ia cuti, dan hanya bisa menghubunginya lewat email.
Keputusannya untuk berlibur bukan hanya sebab kerjaan semata, melainkan karena Jaemin yang jadi penyebab utama.
Beberapa tahun lalu, mungkin 3 tahun lalu? atau 4? Haechan sedikit lupa, dia juga tidak mau repot-repot mengingat kapan tepatnya. Ugh, bahkan kalau bisa, ia ingin lupakan semuanya tanpa sisa. Waktu itu, Jaemin menghilang, sama sekali tidak ada kabar dan tidak tahu apa masalahnya.
Lalu sekarang, tanpa ada api yang membakar kayu jadi abu, dia datang secara tiba-tiba. Si manis itu bingung, bukan masalah mereka yang kembali bertemu, tetapi karena perilaku Jaemin yang terlihat seperti ingin kembali dalam hidupnya. Seolah tidak sadar akan kesalahannya yang membuat Haechan kelimpungan mencarinya beberapa tahun lalu.
Haechan pikir perasaannya sudah hilang bersama waktu yang ikut habis setiap harinya. Tapi ternyata, saat pertama kali mereka kembali bertemu, rasa sakitnya masih ada.
Perasaannya masih ada disana, dan si manis itu sadar. Sebab, jika perasaannya sudah habis tak bersisa, harusnya rasa sakitnya tidak akan sama seperti sebelumnya.
Memang, sakitnya pasti masih ada, tapi harusnya dia sudah lebih bisa menerima. Toh, itu juga sudah lama. Tapi nyatanya, ia dengan susah payah tahan air mata saat kembali lihat Jaemin di hadapannya.
Jika rasa cintanya bahkan masih ada saat mata mereka kembali saling bersitatap untuk pertama kalinya, lalu bagaimana dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya?
Tidak. Tidak bisa. Haechan gelengkan kepala saat dia sampai pada pikiran kalau dirinya akan luluh dengan perlakuan Jaemin padanya.
Si manis itu dengan susah payah menyusun kembali perasaan dan kehidupannya tanpa Jaemin. Tapi sepertinya, susunan itu sekarang sedikit berantakan, di mulai sejak pertemuannya dengan Jaemin di sebuah restoran beberapa waktu lalu.
Haechan membuka matanya yang sejak tadi terpejam dan menoleh ke belakang, berikan senyuman pada pelayan yang baru saja datang dengan membawa troli berisikan sarapan pagi ini.
"Ini mau saya taruh dimana, tuan?" tanya si pelayan, berdiri di samping kasur.
"Bawa kesini. Saya mau sarapan disini." balasnya, beri isyarat melalui gerakkan kepala.
Lalu tanpa perintah dua kali, pelayan itu segera berjalan menuju balkon tempat Haechan sekarang berdiri, dan menyiapkan sarapannya di sana. Kemudian si pelayan keluar, tinggalkan Haechan sendiri setelah si manis berucap terima kasih.
Menu sarapan pagi ini tidak banyak, hanya bubur ayam, 2 roti canai, juga buah-buahan, dan air mineral. Lalu si manis memulai sarapan dengan makanan yang sudah tertata di atas meja kayu berbentuk lingkaran, dan dirinya duduk di kursi rotan.