Jaemin baru saja sampai di sebuah restoran. Segera ia mengikuti pelayan, menuju meja yang sudah direservasi atas nama ayahnya. Pemuda itu datang 15 menit lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukan.
Ayahnya meminta datang ke restoran untuk menggantikannya makan siang dengan partner kerja perusahaan mereka dalam pembangunan resort di Bali.
Bukan meeting yang formal, mereka hanya akan membahas ringan perkembangan pembangunan resort itu. Namun, ayahnya tidak beritahu siapa orang yang akan ditemuinya, dia juga lupa menanyakannya tadi. Tapi yasudah, toh yang pasti mereka akan ketemu juga. Cukup bilang reservasi atas nama pak Choi, lalu pelayan akan mengantarkan mereka ke meja yang sama.
"Maaf pak Choi, tadi ada sedikit masalah, saya jadi datang terlambat." ucap seseorang yang baru saja datang. Pria didepannya itu sedang menunduk, sibuk menggulung lengan bajunya. Orang itu telat 5 menit.
Familiar. Dia ingat dan tahu persis siapa pemilik suara yang barusan mengudara. Wajah yang tadinya menunduk segera mengangkat kepala, ingin pastikan pemilik suara itu adalah orang yang tiba-tiba saja muncul di pikirannya.
Dan benar saja, "Haechan," ucapnya begitu lihat siapa yang ada di hadapannya.
Sang pemilik nama kaget, matanya membola dalam sepersekian detik. Buru-buru ia atur ekspresi wajahnya, berusaha bersikap biasa saja. Walau sebenarnya amarahnya mulai muncul ke permukaan.
"Ah, maaf, sepertinya saya salah meja." ia berikan senyum, lalu mengedarkan pandangannya. Mencari pelayan untuk kembali menanyakan meja yang benar.
"Bener kok, reservasi atas nama pak Choi. Beliau tidak bisa datang." jelas Jaemin pada lelaki yang masih terus berdiri itu.
Ooh, benar ternyata.
Si manis kembali mengulas senyum dan mengangguk kaku. Ada hubungan apa Jaemin dengan pak Choi? Apa mungkin sekretaris baru beliau? Jika benar, itu artinya dia akan lebih sering bertemu Jaemin mulai sekarang. Ah, tidak, dia harus sebisa mungkin jauhi orang ini.
Dengan langkah berat, Haechan terpaksa berjalan menuju kursi di depan, dan mendaratkan bokongnya disana.
"Calm down, it's okay, Haechan." ucapnya dalam hati, menenangkan diri. Tangan itu ia bawa menuju tasnya, mengambil sebuah ipad di dalam sana. Tapi, baru saja si manis membuka lock screen ipadnya, pria di depannya berkata, "Kita makan dulu, ya."
"Kita bahas ini dulu, habis itu kamu bisa pesan makan. Saya buru-buru," tolak Haechan agar bisa segera pergi dari sana.
Jaemin tersenyum, badannya ia condongkan ke depan, lalu tangannya ia silangkan di atas meja, kemudian balas berkata "Saya lapar, nggak bisa fokus kalo belum makan."
Huh, "Yasudah, kamu pesan makan, sambil saya jelasin kerjaan." tawar Haechan.
Pria itu menggeleng pelan, tidak setuju dengan ucapan barusan. "Kamu juga harus ikut makan, masa saya makan sedangkan kamu sibuk jelasin kerjaan? gak bisa gitu. kita makan dulu, ya?" ia masih berusaha berikan bujukannya, dengan senyum tampan yang masih belum luntur juga.
Helaan nafas terdengar jelas. Haechan pasrah. Tahu persis kalau Jaemin akan selalu tetap dengan pendiriannya.
"Gimana kabar kamu?," tanya Jaemin setelah pelayan pergi membawa catatan pesanan mereka.
"Selalu baik, kecuali hari ini."
"Karena ketemu aku?" tanya Jaemin tepat sasaran, undang wajah kesal juga malas dari si manis.
Jaemin terkekeh, wajah Haechan yang kesal selalu jadi salah satu favoritnya. Itu menyenangkan, menurutnya.
"Kamu marah?"