Happy reading!
•••
Dua minggu telah berlalu dan akhirnya tiba di hari yang ditunggu-tunggu. Hiasan berbagai bunga dengan belitan pita berwarna putih biru pada berbagai tiang yang membentuk gapura terpajang di halaman luas sebuah villa milik keluarga Cakrawala. Konsep outdoor menjadi pilihan para orang tua dalam mengadakan pernikahan sakral kedua anak mereka.
Meskipun tidak banyak berpartisipasi dalam keputusan tersebut karena dia mempercayakan semuanya pada mereka, ternyata hasilnya tidak mengecewakan. Bahkan, dia berdecak kagum ketika menatap acara ini. Walaupun tidak semeriah mengadakan di ballroom hotel atau menyewa tempat yang lebih luas, bagi Yaya ini sudah lebih dari cukup.
Dia suka tema seperti ini daripada merepotkan diri. Toh, suasananya lebih terasa.
Kembali mematut diri di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya yang kembali berbalut gaun pengantin putih seperti saat fitting waktu itu. Kerudung putih menutupi kepala dan terjulur hingga seluruh dadanya sebagaimana keinginannya. Mahkota putih tersemat di atasnya, belum lagi riasan tipis nan elegan yang semakin memancarkan aura positif darinya.
Hari ini dia menikah.
Hari ini dia melepas masa lajangnya diusia dua puluh satu tahun.
Hari ini pula adalah awal mula dia menempuh kehidupan yang sebenarnya dalam bermasyarakat.
Menarik napas dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan. Yaya memenangkan diri dan juga degupan jantungnya yang bertalu-talu.
Di sebelahnya sang sahabat, Ying, menatap dirinya di cermin. "Lihat, sobat karib gue akhirnya punya pawang juga. Ay, kenapa gue baru sadar kalau lo tuh cakep banget ya pas tenang begini. Jadi mirip cewek pada umumnya." Itu disampaikan dengan nada biasa dan menyanjung. Tapi, isinya sudah jelas itu ejekan.
Sudut mulut Yaya berkedut. "Maksudnya gue dulu bukan cewek gitu?"
Dia tidak berharap Ying akan menanggapinya dengan anggukan polos. Apalagi matanya itu terlihat seakan apa yang disebutkan sebelumnya merupakan sebuah fakta mutlak.
"Sejak gue kenal lo dari zaman masih pake dalaman doang pas bocah dulu, lo tuh petakilan banget, Ay. Tante Wawa sampai dibuat kualahan ngurusin apalagi kalo udah manjat-manjat pohon. Makin mirip monyet." Saat membayangkan itu, Ying tertawa terbahak-bahak dan menepuk pundak Yaya agak kencang.
"Aduh! Lu kalo ketawa ya ketawa aja, kagak usah gebuk pundak gue, Nyai. Sakti banget tahu." Yaya mengeluh, mengusap bagian yang dimaksud. "Udah ngejek gue kayak monyet, eh kena kekerasan dalam persahabatan. Sialan banget."
Ying mencibir, "Udah mau nikah kurangin ngomong kasarnya. Gak baik. Apalagi lo tuh cewek, Ay." Kemudian raut wajahnya menjadi sendu tiba-tiba. "Tapi, gue beneran turut bahagia atas pernikahan lo. Gimana pun juga kita tumbuh bareng-bareng dan sekarang, sahabat paling gue sayang akan menempuh hidup yang baru bersama pasangannya."
Mendengarnya, Yaya merasa akan menangis saat ini. Ia menengadahkan kepalanya guna menghalau air mata yang tergenang di pelupuk. Meskipun ingin menangis, tapi ...
Gue nggak mau pakai make-up ulang, please!
"Thanks so much, Ying. Mungkin habis gue nikah, bentaran lagi lo nyusul." Sambil menyusut sedikit ujung matanya memakai tisu, ia bicara gamblang. "Kebetulan gue dengar kalau teman-teman Kak Halilintar itu pada ganteng semua," katanya menggoda.
Oh benar, sejak tragedi diintimidasi di dalam mobil dengan pilihan untuk memanggil Halilintar apa, pada akhirnya dia memilih sebutan "Kakak".
Setidaknya, pria itu berhenti merecokinya agar tidak memanggil dia "Pak" lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Bothering Me, Husband!
Ficción General[ MARRIAGE LIFE AU ] Menikah di usia muda bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Karena harus bisa menyatukan dua pikiran berbeda dalam hubungan rumah tangga. Selain itu, perbedaan karakter termasuk dalam kerumitan tersebut. Namun, benarkah serumit itu...