Bagian 32 - Axcel dan Rezki

9 4 0
                                    

Jangan lupa vote sebelum lanjut baca, ya!
Happy reading^^

Axcel melirik kesana - kemari, sepertinya ia tengah mencari seseorang di lokasi syuting. Rezki yang sedang sibuk menyiapkan kamera menyadari gerak - gerik Axcel.

"Arum nggak dateng hari ini," celetuk Rezki. Axcel menghentikan aksinya lantas melirik cepat ke arah Rezki.

"Kok lo tau?" tanya Axcel dengan nada ketus. Rasanya tidak adil jika Rezki mengetahui semua kondisi Arum—Axcel, kan, pengen tau juga.

"Dia ngabarin gue kalo temennya sakit dan nggak bisa rekaman. Makanya dia yang gantiin," jawab Rezki dengan mata yang masih fokus dengan kamera.

"Rekaman?" tanya Axcel bingung.

"Lo lupa ya kalo Arum podcaster?" Kini Rezki mengalihkan pandangannya pada Axcel.

"Oh ... thanks infonya." Axcel mendelik lalu pergi menuju ruang tata rias. Ia sudah siap untuk melanjutkan syuting yang hanya beberapa minggu lagi.

"CUT!" Suara bariton itu menggelegar diseluruh lokasi syuting. Axcel dan Lena menghela napas lega lalu berjalan lesu menuju tempat duduk.

Suasana kali ini cukup berbeda, tak biasanya Axcel dan Rezki saling diam. Bahkan Lena yang duduk di depan mereka merasa canggung.

"Lo suka, ya, sama Arum?" bisik Rezki. Air minum yang ada di mulut Axcel hampir menyembur karena pertanyaan aneh itu.

"Bukan urusan lo, ya," bisik balik Axcel dengan nada kesal.

"Emang bisa?" Bisikan Rezki terdengar seperti ejekan.

"Lah, emang lo juga bisa?" Seakan paham dengan ledekan Rezki, Axcel pun melempar balik ejekan itu.

"Tapi Abi suka sama sutradara, pernah diizinin nganter pulang nggak sama Abi?" Ledekan itu tidak kunjung berhenti.

"Seenggaknya gue jadi donatur di tempat yang sama kayak Arum dan Abi nya. Lo suka sedekah nggak?" Axcel masih tidak mau kalah. Lena yang tengah mengaduk minuman sampai menganga melihat perang dingin di antara mereka berdua. Jika dipikir menggunakan logika, Axcel dan Rezki memang selalu bertengkar perihal perempuan yang sama - sama mereka sukai. Ya, Lena seharusnya tidak aneh dengan hal ini.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, bertemu lagi bersama saya Arum dalam podcast Reminder Sore..." Axcel dan Rezki melirik ke arah Lena yang sedang menyalakan podcast di ponselnya. Lena yang sadar akan hal itu lantas membesarkan volume ponselnya.

"Nih, gue gedein sampe telinga lo pada pecah!" ketus Lena yang kini menyimpan ponselnya di atas meja.

"Ketahuilah wahai saudaraku yang mulia, bahwasanya apabila terjadi permusuhan diantara kedua orang, maka akan terhalang bagi mereka mendapatkan ampunan, sampai mereka berdamai. Jika salah seorang dari mereka berusaha berdamai, dan yang lainnya menolaknya, maka orang yang menolak tersebutlah yang akan tertutup baginya ampunan, disebabkan karena penolakannya..."

"Masih punya telinga kah kalian wahai dua manusia yang sedang bertengkar?" Lena mengejek sambil tertawa renyah.

"Kalian nggak akan dapet ampunan, mampus!" Lena semakin mengompori dua sahabatnya.

Axcel dan Rezki yang semula saling membuang muka kini malah saling berjabat tangan. Rupanya Reminder Sore menjadi obat paling ampuh dalam menghadapi pertengkaran.

"Gue sebenernya bercanda bilang begitu." Axcel tiba - tiba merangkul bahu Rezki sambil tersenyum kecut.

"Gue juga bercanda, sumpah. Kita temenan kan? Iya, lah." Rezki ikut merangkul bahu Axcel sambil tertawa kecil.

"Jadi ... Arum buat gue?" bisik Rezki yang sepertinya akan memancing amarah Axcel lagi.

"Lo mau gue gampar? Sportif!" balas Axcel sambil menatap tajam ke arah Rezki.

"Nih dua orang sinting banget dah..."

•••

Axcel berjalan lesu menuju apartemennya. Ketika ia hendak mengeluarkan kartu, tiba - tiba ia dikejutkan oleh seorang wanita yang tengah berdiri di sebelah pintu apartemennya. Wanita itu tersenyum canggung sambil melambaikan tangan.

"Lo ngapain disini?" tanya Axcel tanpa basa - basi.

"Ada hal penting yang harus gue omongin ke lo," ucap wanita itu sambil melipat tangan di depan dada.

"Apa? Kita kan udah pura - pura akrab di depan Bunda. Nah, sekarang lo mau apa lagi?" Wanita yang sedari tadi berdiri di samping pintu apartemen itu adalah Angel, Kakak Axcel.

"Bukan itu, Cel..." ucap Angel dengan helaan napas.

Axcel menghela napas pelan. Ia menghadap ke arah Angel dengan tatapan tajam. Ia tidak akan masuk ke apartemen sebelum sang kakak menuturkan maksud kedatangannya kemari.

"Ayah sering datang kesini, nggak?" tanya Angel, wajahnya tampak cemas ketika bertanya demikian.

"Kalau lo datang kesini cuman buat nanyain Ayah. Sorry, gue nggak mau jawab. Buang - buang waktu aja." Axcel hendak masuk ke dalam apartemen. Namun, tangannya ditahan oleh Angel.

"Gue mau nikah, Cel." Mata Axcel terbuka lebar, tubuhnya seketika membeku.

"Itu alasan kenapa gue nanyain Ayah ke lo," sambung Angel. Axcel menghela napas pelan, ia berbalik lantas menatap Angel seraya tersenyum.

"Lo nggak perlu minta Ayah buat datang ke sana, gue yang akan jadi saksi." Axcel mengubah ekspresi wajahnya secepat kilat. Tak mungkin ia berkeluh kesah ketika menerima kabar bahagia seperti ini.

"Tapi ... Ayah..."

"Kita hanya perlu persetujuan untuk saksi, kan? Kita juga nggak perlu ngundang orang yang berpotensi hancurin acara pemberkatan lo." Axcel mengelus bahu Angel untuk menenangkannya.

Angel menggigit bibir bawah, ia tak kuasa menahan air mata yang sudah terbendung sebegitu banyaknya. Ia menangis tepat didepan Axcel, adik yang tak pernah ia anggap kecuali ketika mereka kebetulan sedang berada di rumah Bunda.

"Lo kesini cuman buat ngasih kabar itu, kan? Ada hal lain lagi, nggak? Kalau nggak ada, mending lo pulang aja. Nanti bunda khawatir," ucap Axcel sambil tersenyum lebar. Angel mengusap air mata lantas mengangguk mantap.

"Cel, kalau ada hal yang pengen lo omongin ke gue. Omongin aja. Mungkin setelah menikah nanti, kita nggak akan ketemu lagi." Itulah kalimat pamungkas sebelum akhirnya Angel pergi meninggalkan Axcel.

Pria itu kini termenung di dalam kamarnya. Suasana hatinya terasa campur-aduk. Bahkan ketika sang bunda berbahagia atas kabar kakaknya, Axcel justru malah terdiam. Ada banyak hal mengganjal dalam hatinya. Terutama kalimat terakhir yang Angel katakan sebelum pergi dari apartemennya.

"Menutupi sebuah kesalahan demi keharmonisan itu termasuk kebohongan, Kak. Kesalahan itu akan menjadi beban bagi yang menutupinya. Dan orang yang menjadi korban akan hidup dalam ketidaktahuan."

Kata - kata yang diucapkan oleh Arum kembali terekam. Kini Axcel tahu apa yang mengganjal dalam hatinya. Daripada hidup dalam rasa bersalah, akan lebih baik jika Axcel berbicara empat mata dengan kakaknya sebelum acara pemberkatan.

Sang PegangumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang