03. Her Name is Mae

62 6 0
                                    

"Hanya pada pertemuan pertama, sebuah wajah membuat kesan penuh pada kita." — Arthur Schopenhauer

"Anak baru ya?" tanyanya. Nada bicaranya sinis banget sampai bikin Ibra meringis.

Sumpah ya, Ibra nggak suka cara cewek ini melihatnya. Harga diri Ibra terluka mendapatkan tatapan remeh dari orang asing kayak begitu. Rasanya pengin sekali menunjukkan gengsi tinggi sama nih makhluk satu.

Memangnya dia nggak tahu lagi bicara depan siapa? Ibra Salim gitu, loh. Seleb yang punya fan base lintas generasi. Nggak yang muda, nggak yang tua—mostly middle-aged ladies, sih sebenarnya—mereka sepakat kalau Ibra adalah senjata mematikan nomor satu Indonesia; The Lady Killer, pemilik senyuman sejuta volt!

Banyak banget cewek yang mendadak hamil online tiap Ibra mengepos kegiatannya dengan muka semringah di instagram. Kolom komentar pun isinya penuh sama keluhan rahim anget semua. Kayaknya Ibra kudu, deh mengulang perkenalannya dengan embel-embel itu semua di sini. Cuma agar cewek ini ngeh dikit.

Eh, tapi kalau dipikir-pikir lagi nggak usah juga ding. Ibra tiba-tiba tersadar dengan tujuan utamanya kabur ke tempat antah berantah begini untuk apa; hidup damai di tempat yang nggak ada seorang pun yang tahu mengenai identitas aslinya.

Bagus dong kalau cewek ini nggak mengenali Ibra meski jarak mereka sudah sedekat ini. Artinya, sejauh ini Ibra setengah berhasil menjalankan misinya. Semoga penghuni pondokan yang lain pun sama terkecohnya kayak nih cewek satu, deh. Ibra agak malas juga membayangkan dirinya tiba-tiba dikerumuni dan ditanya ini-itu sama mereka.

Dan hal buruk yang bakal terjadi kalau sampai salah satu dari penghuni pondokan sini sadar siapa Ibra sebenarnya adalah kedatangan Jo dan para wartawan kemari.  Ibra kan nggak bisa mengontrol apa yang bakal mereka posting di sosial medianya masing-masing. Kemungkinannya 101 persen bakal ada saja orang yang caper dan membocorkan keberadaannya di sini, kan? Biar ikutan femes. Secara, Ibra lagi jadi tranding topic di mana-mana. Ugh!

Ibra pun segera menata hati. Nggak butuh waktu lama buat seorang pro seperti dirinya mengondisikan raut wajah setenang air kobokan. Anggap saja lagi syuting, kan?

Ibra mendekatkan diri pada cewek itu sembari mengulurkan tangannya, hendak bersalaman. "Iya, nih," katanya. "Nama gue, Ibra. Nama lo siapa?"

Bukannya cepat menyambut uluran tangan Ibra, cewek itu malah makin menajamkan pandangannya. Bahkan tanpa susah-susah menutupi keengganannya, kedua tangannya dilipat erat di dada. Sampai-sampai sweter rajut oversize yang dipakainya pun berubah ketat saking eratnya dia memeluk tubuhnya sendiri.

Gila! Defensif banget!

Dengan canggung Ibra buru-buru memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Agak syok juga Ibra dijutekin sedemikian rupa.

Jujur, deh. Ibra lupa kapan terakhir kali ada manusia normal yang menolak bersalaman dengannya. Terang-terangan pula. Padahal tangannya nggak lagi kotor. Senajis itu memangnya Ibra di mata nih cewek?

"Gue nggak salaman!" Cewek itu membuang muka. "Panggil aja gue Mae."

Bibir Ibra membentuk huruf O besar di antara keheningan yang tercipta setelah Mae menyebutkan namanya. Cuma ada suara detik jam yang menghipnotis dari jarum yang menunjuk angka 8 malam di dinding kayu. Sesekali orkes dari sekumpulan jangkrik dan kodok saling bersahut-sahutan di luar sana.

Canggung bener! Ibra ngedumel dalam hati. Lagian suasananya memang janggal, sih. Ibra baru sadar malam di tempat ini ternyata benar-benar sepi dan dingin. Entah berapa derajat, yang jelas suhunya bikin Ibra merinding disko. Mana dia cuma pake kaus setipis saringan tahu lagi.

The Ghost Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang