04. The Wanderers

57 6 6
                                    

"Makanan adalah tentang momen, kesempatan, lokasi, dan teman-teman, serta tentang rasanya." — Heston Blumenthal


Ibra celingukan mencari ruang makan yang nggak jelas keberadaannya. Katanya di lantai bawah, tapi setelah Ibra menuruni anak tangga tempatnya pertama kali melihat Nyambar, dia sama sekali nggak menemukan apa-apa.

Bahkan kupingnya nggak dengar ada aktivitas manusia yang lagi ngobrol-ngobrol cantik atau hal-hal normal yang biasa terjadi saat akan makan malam sama sekali, kayak suara sendok dan piring yang beradu misalnya.

Ibra mengerang kesal. Kaki panjangnya menendang udara kosong di depannya."Sialan, tuh orang! Udah bangunin tidur gue nggak pake permisi, sekarang pake ngerjain lagi. Ampas tahu!"

Sudah kepalang berada di luar, Ibra memutuskan untuk sekalian saja mengambil ponselnya yang tertinggal di dalam mobil. Mumpung hujannya sudah mulai reda dan kuncinya pun masih tersimpan baik di saku celana.

Buru-buru Ibra berlari kecil di bawah gerimis. Nggak pakai lama, setelah pintu penumpang terbuka, Ibra mengulurkan tangannya ke bawah jok dan berhasil mendapatkan ponselnya kembali.

Ibra mengusap layar gelap itu dengan ujung kausnya, menekan tombol daya di sisi kanan, dan menunggu beberapa saat hingga nyala terang membanjiri seisi mobil yang gelap.

Sudah seharian ponselnya mati, Ibra yakin banget bakal dapat ratusan pesan dan pemberitahuan missed call yang kepo soal keberadaannya. Benar saja, nggak sampai semenit, ponselnya gemetaran kayak lagi goyang dumang. Nggak berhenti menunjukkan banyak nama-nama familier yang terus-terusan mencoba menghubungi Ibra sedari pagi.

Ibra meringis geli saat melihat deretan chat dari Jo dengan capslock jebol dan tanda seru sebanyak harapan calon mertua. Rasanya jari-jari Ibra gatal banget pengin cepat-cepat balas chat itu biar Jo tambah jengkel padanya, tapi saat matanya nggak sengaja membaca nama sang mama ikut jadi peneror yang mengiriminya pesan, seketika itu pula Ibra mengurungkan niatnya.

Mamanya mengirimkan banyak pesan suara. Kalau dilihat dari angka hijau kecil yang berada di sudut kanan layar ponsel, sih dua puluh pesan berhasil Ibra terima dari mama. Intuisinya mengatakan jika isinya pastilah tentang sejarah nama-nama hewan di kebun binatang seantero dunia.

Yes, lidah mamanya Ibra tuh memang fasih banget soal proses bikin mental orang lain mengkeret jadi macam kanebo kering dengan umpatannya. Semua orang di kantor agensi yang menaungi Ibra selama ini sudah pada tahu gimana seramnya mama Ibra saat marah pada sesuatu.

Nggak, deh. Kalau gitu Ibra nggak pengin dengar isi voicenote mamanya. Memang sudah paling benar ponselnya tetap dibiarkan mati saja. Entah besok pagi atau lusa, pokoknya Ibra bakal main-main ke konter pulsa terdekat buat mengganti nomornya.

Ibra melenguh. Suaranya sudah terdengar kayak sapi gelonggong yang depresi. Kepalanya bersandar pada jok kulit mengilat di belakangnya sambil menyapukan pandangan ke seluruh penjuru pondokan.

Secara nggak sengaja, Ibra malah melihat cowok tadi keluar dari pintu yang serupa dengan dinding batu di sekitarnya. Pria itu menggaruk belakang kupingnya yang nggak gatal, warna kulit mukanya jadi semerah kuah godok buncis akibat bingung bercampur kesal yang jadi satu. Sambil bersungut, kakinya mengentak-entak anak tangga. Dia pasti mau masuk lagi ke dalam mencari Ibra.

Ibra ketawa ngakak. Pantas saja ruang makannya nggak bisa ketemu, orang warna pintunya saru sama batu begitu. Kalau matanya nggak dipelototin benar-benar, orang mana bisa tahu ada pintu di situ. Hikmahnya, Ibra sekarang jadi tahu letak ruang makan ada di mana.

Demi kesopanan, Ibra mengetuk pelan pintu itu sebelum akhirnya mendorongnya terbuka. Hal pertama yang menyambutnya adalah desah lega dari empat pasang mata yang terdengar bebarengan. Akhirnya, Ibra bisa ketemu juga sama para penghuni pondokan sini selain cowok yang baru saja keluar dan si bawel Mae.

The Ghost Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang