06. Nice To See You Again

46 3 4
                                    

"Ada garis batas yang ditentukan dengan jelas antara wilayah Tuhan dan wilayah Iblis." — George A. Smith


Ibra syok mendapati sosok setengah badan Mae menyembul dari pintu kamarnya, kemudian perlahan melayang ke atas dan bergelantungan santai di atas plafon kamarnya yang super tinggi.

Mae betulan lagi berpose ala spiderman jungkir balik dengan rambut ikal panjangnya yang berjumbai-jumbai.

Melihat pemandangan horor itu, jelas, Ibra panik karena setiap indra di tubuhnya mengeluarkan sinyal tanda bahaya.

Ibra bangkit, tapi sekonyong-konyong kakinya lemas luar biasa. Mau lari ngepot kayak bajaj keluar kamar tuh susah banget rasanya. Ibra cuma bisa gemetaran melototin Mae yang sekarang lagi ketawa cekikikan sambil perlahan turun menghampiri Ibra yang nggak beranjak dari tempatnya.

"A-ampun, Mbah Mae! Jangan ganggu gue! Jangan makan gue! Gue nggak enak! Lemak gue dikit, Mbah!" Ibra memerosot, duduk bersimpuh sembari menggosokkan kedua telapak tangannya, memohon ampun pada Mae.

Sekarang ini, semua ocehan Cepi soal setan cewek penghuni pondokan lantai tiga sedang terngiang-ngiang di kuping Ibra. Bisa jadi, tadi tuh Cepi lagi berusaha ngasih tahu Ibra biar lebih hati-hati jaga diri saja di sini, tapi karena pembawaan Cepi yang kayak mbak-mbak biang gosip sekompleks perumahan subsidi malah bikin Ibra salah paham mengartikan kebaikannya, meski lagi ngasih petuah penting buat keberlangsungan hidup dan matinya Ibra sekalipun, Ibra jadi keburu malas menanggapinya.

Obrolan soal pesugihan Nyambar pun tiba-tiba berjejalan di kepala Ibra. Hal itu bikin Ibra makin takut setengah mati memikirkannya.

Jangan-jangan, alasan Nyambar membuka kamar yang bertahun-tahun kosong ini memang lantaran sudah jadwalnya dia memberi setan Mae tumbal pesugihannya. Dan tanpa Ibra sadari, dia sudah masuk ke dalam jebakan maut Nyambar lewat foto-foto kosannya di google yang memikat hati rapuhnya.

Kalau gitu ya pantas sajalah harga sewa kamarnya dibedakan dari penghuni pondokan yang lain. Sedari awal, mungkin Nyambar memang nggak berniat bikin Ibra kerasan tinggal di sini lama-lama.

Walah, bisa-bisanya hidup Ibra apes begini. Niat keluar dari kandang singa malah masuk jebakan setan!

"Dih! Mbah? Kayak tua banget gue dengernya!" protes Mae, agak frustrasi. "Sembarangan aja lo kalo ngemeng! Nggak akan gue makan, lah! Gimana caranya gue mo makan daging orang, megang lo aja gue kagak bisa! Kocak!"

Mendengar jawaban Mae barusan bikin muka Ibra mendadak semringah. Artinya, kemungkinannya mati konyol jadi korban pesugihannya Nyambar itu bohong belaka, kan? Nggak ada sama sekali gitu-gituan. Alhamdulillah banget, loh itu. Eh, tapi, kata pak ustaz, setan tuh tukang boong, ding. Tugasnya emang jadi tukang bikin sesat manusia, Anjir!

"Yang bener lo?" Mata Ibra menyipit curiga. Rasa takutnya jadi korban pertumbalan benar-benar jauh lebih gede ketimbang dengan kenyataan soal Mae yang serupa dengan dedemit betina, yang nggak sampai sepuluh menit lalu Ibra khawatirkan.

"Beneran, lah, Ege!" Mae melipat kedua tangannya di dada. Kesal karena Ibra kelihatan nggak percaya padanya. "Nggak lagi nge-prank gue mah. Lo mo nyoba pegang gue? Nih, nih, silakan kalo emang berani!"

Ibra menelan ludah yang mendadak terasa seret banget di tenggorokannya. Ibra mencari-cari gurat bercanda di wajah mungil Mae, tapi nggak menemukan apa pun di sana. Artinya, Mae memang lagi nggak mengada-ada saat menawari Ibra memeganginya.

Jujur saja, deh. Melihat Mae ini memang sempat bikin Ibra takut, tapi nggak setakut itu juga. Jiwanya terguncang, tapi masih bisa ditoleransi akal sehatnya. Mungkin karena penampakannya Mae ini nggak seseram visualisasi kuntilanak bergamis putih yang sering dilihatnya di film-film gitu kali ya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Ghost Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang