32. Sepatu

1.5K 164 140
                                    

         MALAM yang seharusnya mereka kembali ke Bandung, tertunda sebab gelegar berita duka menahan mereka tetap ada disana,

Tak ada satupun dari mereka yang pernah merasakan betapa tegangnya menunggu depan ugd, Hadha masih disana, ditangani sebagai pasien urgent yang butuh menanganan segera, dari ambang pintu yang selalu tak pernah tertutup, Ravi curi kesempatan mengintip, ingin tau perjuangan seperti apa yang sedang Hadha lalui disana,

Gigi grahamnya menggertak gelisah, cemas tak jua hilang, terlebih tanpa sengaja dia melihat Hadha memuntahkan darah, kondisinya mungkin tidak stabil, kedua matanya biru membengkak, nyaris tidak bisa terbuka, ada luka dikepalanya yang mengalami pendarahan, lengan kirinya dipastikan patah, baik dia maupun Aslan tidak bisa melupakan bagaimana lengan Hadha terkulai seperti tanpa tulang ketika tubuhnya diangkat.

Selama diperjalaan tadi, Hadha masih lah sadar, ditengah rasa sakitnya, dia sempatkan bergurau, mengajak Aslan yang menemaninya bicara hal random,

"Pala gue robek kira kira berapa jaitan lan ?"

"Entar pala gue pitak, --"

"Bilangin Lan, pas dijait nanti jangan potong rambut gue yak, sayang, lama manjanginnya.-"

Walau mulutnya dipenuhi darah, walau badannya tampak mati rasa, dia sempatkan tertawa, Aslan tau, teman baiknya mencoba menepis semua rasa sakitnya yang ketika Aslan bertanya berapa presentasi sakitnya, Hadha menjawab 9/10,

Aslan meremat jemari Hadha yang berlumur tanah juga darah, dia bersumpah akan mengusut atas kecelakaan yang dialami sahabatnya,

"Aing moal buta kan Lan ?--" (Gue gak akan buta kan ?)

"Apaan dah sat, ngaur lu,"

Sirine ambulance membelah jalanan Cianjur, yang syukurnya tidaklah padat, memudahkan ambulance lewat tanpa kendala pengguna jalan bandel.

"Gue belum mau mati Lan serius, gue takut--"

"Tapi tolong lu jagain Sena, bilangin nyokap bokap, makasih udah urus gue." Gumam Hadha terbata bata, bahkan disela jemarinya yang balas rematan Aslan, dia terbatuk karna nafasnya tidak beraturan,

Satu satunya yang ikut mengantarkan Hadha naik ambulance, membuat Aslan menguatkan dirinya sendiri, jika terjadi hal buruk, mungkin senyum lebar Hadha sebelum dia tertidur adalah senyum terakhir yang Aslan liat dari sahabat seperjuangannya itu,

Sebagai orang yang usianya paling tua, Aslan sebenarnya tidak pandai mengayomi buat ke 4 temannya, dia tidak jago menjaga mereka dari bahaya, meskipun dalam kecelakaan tadi dia ada tepat dibelakang Hadha, dia tidak bisa berbuat banyak ketika motor Hadha tergelincir kesisi jurang, padahal kecelakaan awalnya terjadi akibat ada satu orang yang terjatuh, lalu motor lainnya yang memiliki kecepatan tinggi tak mampu mengerem mendadak, begitulah kecelakaan beruntun itu terjadi, kalau saja Aslan bisa mengendalikan motornya, dia tidak akan menabrak motor didepannya, persis dibelakang Hadha yang sebenarnya sudah dalam posisi berhenti meski nampak limbung, lalu benturan itulah yang akhirnya membuat kecelakaan itu semakin luas, hingga menimbulkan 1 korban paling kritis, yaitu Hadha.

Badan Aslan yang semula berdiri menyender tembok, berangsur meluruh, dia memegang kepala gusar, mungkin dia masuk kedalam calon tersangka yang mengakibatkan Hadha jatuh, Ravi berdiri disampingnya seusai menghabiskan waktu menenangkan Rizal yang masih setengah sadar, dia duduk menengadah, menggumamkan banyak doa yang dia yakini.

"Bukan salah lo Lan,." Ravi menepuk pundak Aslan 2 kali, kondisi badan Aslan cukup dipenuhi lecet, sebab dia sempat terjatuh, refleksnya yang melihat Hadha terguling, membawa dia susah payah terjun ke sisi jurang, beberapa kali ditahan, Aslan tetap nekad, berkat usaha dirinya lah keberadaan Hadha mudah terlacak, dan dapat diselematnya tepat waktu,

Asmalibrasi | HyucknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang