Chapter One : Four

659 88 19
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kedatangan Winter entah dari mana, menjadi sebuah penyelamat, menghindar dari ajakan kakak kelasku dari sekolah lain. Jujur saja aku tidak menyukai cara dia mendekatiku. Tubuhku merinding tiap kali melihat obsesinya mengajakku untuk kencan, bahkan seperti sebuah pelecehan halus bagiku. Aku sudah menolaknya puluhan kali, tapi dia tetap mengejarku.

Sebenarnya bukan dia saja, ada beberapa kutolak juga karena aku tidak tertarik dengan laki-laki mana pun. Standar laki-laki bagiku itu sekelas Chris Evans. Tinggi? Memang. Bagaimana dengan standar perempuanku? Mungkin sekelas Winter. Aku rasa.

Dia selalu menarik perhatianku setiap kali berada di sekitar. Entah itu sedang diam atau pun mengomel dengan kakak-kakaknya. Terlihat lucu dan menggemaskan. Apalagi saat dia menangis tempo hari. Rasanya ingin kucubit pipinya sampai berbekas. Dia terlihat seperti bayi.

"Kak."

Aku tersentak, tersadar dari lamunan. Aku menoleh, menatap wajah Winter sedang menunduk memperhatikan trotoar seperti takut tersandung sesuatu.

"Kenapa Win?" tanyaku sambil menyeimbangi langkah kakinya melambat.

"Yang tadi itu–"

"Bukan pacar aku kok," potongku, dia mengangguk sambil mengulum bibirnya berbentuk garis.

"Kenapa?" tanyaku, memastikan agar dia tidak salah paham mengenani hubunganku dengan laki-laki tadi.

"Nggak apa-apa kak, nanya aja," jelasnya sambil mengidik bahu.

"Dia udah lama ngejar aku, padahal udah aku tolak tapi masih aja terus ngajak aku kencan sama dia."

"Kakak udah lapor sama mama?" tanyanya, kini dia memberanikan diri menatapku.

Aku menggelengkan kepala. "Selagi masih bisa aku atasi, agensi nggak perlu turun tangan," jawabku sambil melemparkan senyuman sebagai tanda jika aku baik-baik saja.

"Tapikan jatohnya dia udah ngelecehin kakak," ujarnya.

"Iya sih―tapi mau gimana lagi, kalau aku lawan takutnya dia dendam sama aku terus bikin skandal yang enggak-enggak," ucapku.

"Ribet ya jadi trainee jadi nggak bebas," celetuknya membuatku terkejut.

"Loh, bukannya kamu juga trainee?" tanyaku penasaran.

Dia menggelengkan kepala. "Aku nggak mau, aku nggak mau jadi artis kaya mami sama mama," jawabnya.

"Terus kalau kamu nggak mau jadi artis, mau jadi apa?"

"Pembalap hehe," jawabnya sambil terkekeh, menampilkan deretan gigi putihnya.

Baru kali ini aku melihatnya tertawa walau hanya sebuah kekehan kecil. "Kalau jadi istri aku mau nggak?"

Senyumnya luntur seketika, langkah kakinya terhenti, raut wajahnya terkejut. "Hah?"

Aku berhenti di depannya. Berputar menghadap ke arahnya. "Kamu laper nggak?" aku alihkan topik agar melunakan tubuhnya menegang.

BIADAB FAMILY (PENDING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang