03. [Ayah, sakit]

30 0 0
                                    

Sinar matahari tanpa malu menerobos masuk melalui kusen–kusen jendela kamar seorang dara jelita.  Mengusik sang gadis dari tidur panjangnya. Gadis itu terbangun dengan penampilan yang sangat kacau lingkaran hitam menghiasi kedua mata, rambut acak–acakan dan jejak air mata yang sudah mengering di pipi  gembulnya. Ketika sang gadis yang tak bukan adalah Gisel hendak beranjak dari peraduannya. Tiba-tiba pintu kamar bercat putih itu dibuka dengan kasar. Sosok pria dan wanita paruh baya menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Satu menatap dengan tatapan garang dan satu menatapnya dengan tatapan sinis merendahkan.

“A-ada apa, Yah?” tanya Gisel terbata. Meski, ia tahu apa penyebab ayahnya datang.

Tanpa banyak bicara, Devian langsung menghampiri Gisel dan menamparnya. Rasa sakit seketika menjalari wajahnya. Satu kata yang tertulis di benak gadis malang itu hanya rasa sakit yang mendalam. Gisel miris akan hidupnya, apakah ia begitu dibenci? Keberanian yang telah tertanam semalam kini pudar seiring rasa sakit itu menjalar. Ia, ingin menangis hanya saja air matanya tak lagi ingin menetes. Apakah mereka tidak pernah bertanya jika dirinya juga terluka? Terluka akan semua perlakuan mereka, tidak adakah sedikit saja rasa belas kasih?

'Ayah, sakit.' Perkataan itu tak ia ucapkan dengan lantang, hanya mampu menyimpannya dalam hati.

“Kamu sudah bosan hidup, ya?  Kenapa kamu memaki Ibumu? Dia sudah susah payah merawatmu, kenapa kamu malah menghinanya? Dasar anak tidak tahu diri kamu!” ujar Devin  dengan tatapan yang penuh ancaman.

“Lalu ... kenapa jika aku menghinanya? Apakah Ayah ... tidak kau bukan Ayahku, Ayahku tak pernah menyakitiku. Apakah kau tidak pernah bertanya kenapa aku seperti ini? Tidakkah hatimu tergerak untuk bertanya?” Nada suaranya bergetar. Meskipun Gisel  ingin menyembunyikan rasa sakitnya. Namun,  itu masih saja terlihat.

Devian tersentak mendengar pernyataan Gisel. Apakah ia sudah terlalu jahat? Namun ini ... bukan kemauannya.

“A-aku tahu kamu tidak menyukaiku hanya saja aku adalah ibumu sekarang. Jadi, hormatilah aku meski hanya sedikit saja.” Suara Lyara yang syarat akan ancaman terdengar di tengah keheningan menyentak Devian dari diamnya. Lyara berucap dengan isakan yang dibuat-buat di depan sang suami. Namun, memiliki makna yang tersembunyi di dalamnya.

‘Masih ingin bermain denganku?’ Lyara menatap Gisel dengan pandangan mencemooh.

“Kamu dengar? Dia sudah terlalu baik padamu. Kenapa kamu masih membencinya!” teriak  Devian pada Gisel dengan penuh kekesalan. Namun, jika diteliti lebih dalam, matanya menunjukkan raut kesedihan seakan ia terpaksa melakukannya.

“Terus, mau Ayah apa?  Mau aku sujud di kakinya?  Yang benar saja, Gisel  gak punya Ibu seperti dia, tapi Gisel hanya punya Bunda,” kecam Gisel dingin. Terlalu muak rasanya mendengar drama wanita ular itu.

Plak! Hati Gisel meradang—bukan lagi sakit fisik, tapi sakit mental pun ia rasakan saat ini. Gisel sampai tak bisa berkata-kata lagi karena hatinya terlampau sakit akibat perlakuan sang ayah yang begitu kejam.

Gisel menoleh dan menatap keduanya ia memejamkan mata sesaat sambil berkata, “Aku juga tidak ingin lahir ke dunia dengan keadaan seperti ini. Jika, aku bisa memilih maka aku ingin Bunda membunuhku sewaktu di kandungan agar tidak mengalami hal seperti ini dibenci oleh Ayah kita sendiri. Iya, aku pembawa sial, tidak berharga hanya sebagai beban di keluarga ini. Lalu sekarang mau kalian apa? Kalian tidak menginginkan aku berada di rumah ini lagi? Iya, aku akan pergi. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa hidup tanpa bantuan kalian. Silakan kalian keluar aku akan membereskan pakaianku.” Gisel berucap dengan tenang. Sekuat tenaga tak terlihat lemah di depan manusia tidak punya hati seperti mereka.

Devian terdiam akan ucapan Gisel. Ia seperti ditampar keras akan kenyataan yang sangat menyedihkan. Apa anaknya sekotor itu sehingga ia sangat membencinya dan hanya Celine  yang diperhatikan sedangkan Celine hanya anak tirinya.

“Argh, diam kamu! Jangan keluar dari kamar ini. Besok Ayah mau kamu bertunangan dengan anak rekan bisnis Ayah, tidak ada bantahan atau penolakan,” putus Devian dengan nada frustasi.

“Oh, apa hak Anda? Saya sekarang bukan lagi bagian dari keluarga ini!” pungkas Gisel menggunakan bahasa formal seakan hubungan ayah dan anak itu benar-benar putus.

“Berani kamu melangkah, terima akibatnya,” ancam Devian memperingati. Setelah itu, ia pun  keluar dengan perasaan campur aduk.

‘Maafin Ayah, Sayang.’ Jika ia tak segera menikahkan putrinya maka ia akan selalu menyiksanya. Devian juga tak tega membiarkan sang putri keluar dari rumah ini dan terluntah-luntah di jalanan sudah cukup ia menyakitinya.

“Kasihan, saya udah enggak mau ganggu kamu lagi. Karena, sebentar lagi kamu akan pergi dari rumah ini, sampai jumpa Gisel yang bodoh, ha ha,” ujar  ibu tiri Gisel diiringi tawa jahatnya.

“Terserah!” balas Gisel menjawab cuek. Hatinya telah mantap bahwa ia harus pergi dari rumah ini.

Selepas mereka pergi, Gisel langsung merosot ke ubin lantai dan meratapi nasibnya. Air mata yang sedari tadi tertahan kini meluncur mulus menciptakan anak sungai di kedua pipinya. Rasanya berat sekali ingin meninggalkan rumah ini yang penuh kenangan dengan sang Bunda. Persetan dengan perjodohan itu, intinya aku bisa bebas dari rumah yang dipenuhi manusia tanpa perasaan seperti mereka. Setelah beberapa saat terdiam Gisel mengingat bahwa ia ada kuliah pagi di kampusnya. Gisel segera bergegas menuju ke kamar mandi untuk bersiap-siap ke kampus.

Hu, next lagi...
Jangan lupa vote,, yahh.
Karena itu gratisss, hehe.
See you, next chapture

Extraordinary Girl : AnaWhere stories live. Discover now