Kejadian ini terjadi pada lima tahun yang lalu (2019) dan setahun yang lalu (2023) dimana waktu itu adalah, waktu yang hampir membuat diriku mati. Atau menjadi gila. Aku pikir, tidak mungkin aku tetap berada di sini sekarang. Kadang-kadang aku pun ragu apakah aku bisa bertahan selama 5 menit ke depan atau mungkin sebaliknya. Saat ini, pikiran bahwa aku akan sehat dan jauh lebih baik untuk menuliskan pengalamanku dengan cara seperti ini masih terlalu jauh dari bayangan.
Salah satu gejala utama depresi adalah tidak melihat adanya sebuah harapan dalam hidup. Atau mungkin bisa dibilang masa depan. Jangankan melihat sebuah cahaya di ujung terowongan, bahkan aku merasa kedua ujung terowongan tersebut tertutup rapat dan membuat diriku terjebak di dalamnya. Seandainya aku bisa melihat masa depan itu yang ternyata jauh lebih cerah daripada apapun yang pernah aku alami, mungkin salah satu ujung terowongan itu akan meledak dan hancur lebur, lalu aku akan bisa melihat cahaya. Kalau saja tulisanku ini terus berlanjut, berarti sudah jelas depresi itu membohongiku dan kita. Depresi membuatku atau mungkin kita memikirkan hal-hal yang tidak benar.
Tapi depresi itu bukanlah suatu kebohongan. Depresi adalah hal paling nyata yang pernah aku alami, meskipun tentu saja, ia tidak kelihatan wujudnya. Bagi orang lain, kadang depresi itu kelihatannya tidak ada apa-apanya. Bayangkan seperti berjalan berkeliling dengan kepala terbakar, namun tidak ada yang bisa melihat bara apinya. Jadi karena depresi sangat tidak terlihat dan misterius—stigma mudah sekali menjamur. Stigma terutama sangat kejam dampaknya bagi kita yang menderita, karena stigma begitu memengaruhi pikiran-pikiran kita dan depresi itu sendiri merupakan sebuah penyakit pikiran.
Hal yang aku rasakan dulu adalah bahwa aku merasa sendirian meskipun sedang bersama seseorang dan merasa tidak ada seorang pun yang memahami apa yang aku alami. Aku begitu takut terlihat gila sehingga aku berusaha menyembunyikan segalanya di dalam. Aku sedemikian takut orang-orang akan mengasingkanku sehingga diriku menjadi tertutup dan tidak bicara apa-apa soal itu. Sebetulnya itu sangat disayangkan karena membicarakan depresi yang sedang aku alami justru akan membantuku ataupun kita yang sedang mengalaminya. Kata-kata—baik lisan maupun tulisan—menghubungkan kita dengan dunia ini. Jadi, berbicara tentang depresi kepada orang lain dan menuliskan tentang hal itu akan membuatku atapun kita terhubung dengan satu sama lain, dan juga dengan diri kita yang sejati.
Aku tahu, tahu sekali, kita ini manusia. Kita adalah spesies yang tertutup. Tidak seperti hewan-hewan. Kita mengenakan pakaian dan bercinta di balik pintu tertutup. Kita malu saat ada yang salah dengan diri kita. Tapi pada akhirnya kita akan tumbuh melampaui masalah tersebut. Caranya adalah dengan membicarakannya atau dengan cara membaca dan menuliskan tentang hal tersebut.
Aku percaya itu. Sampai taraf tertentu, lewat membaca, berbicara, dan menulis, aku menemukan semacam jalan keluar dari kegelapan. Sejak aku sadar bahwa depresi membohongi kita tentang masa depan, aku berniat bercerita kepada temanku yaitu Mutiara serta menuliskan pengalamanku, untuk mengupas masalah depresi dan kecemasanku secara terang-terangan. Aku harap tulisanku bisa mengurangi stigma dan berusaha meyakinkan orang-orang bahwa di dasar lembah, kita memang tidak akan bisa melihat pemandangan yang jelas. Aku menulis ini karena kalimat klise yang sudah lama kita dengar itu tetaplah yang paling benar. Waktu adalah penyembuh. Tetap ada cahaya di ujung terowongan meski kita tidak bisa melihatnya. Dan ada penawaran khusus untuk pelangi setelah hujan. Kadang kata-kata memang bisa membebaskan kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Untuk Tetap Hidup
Non-FictionIni adalah kisahku yang sedang berjuang melawan depresi. Aku hanya ingin kepedihan dalam hidupku ini lenyap. Aku bukannya ingin bahagia tapi aku ingin menjadi normal. Siapa sangka akibat trauma yang telah aku terima selama 5 tahun bisa mengakibatkan...