SEBUAH KEBERANIAN

19 5 1
                                    

Sinar matahari siang ini begitu terik. Pemandangan yang kulihat dari villa ini pun begitu indah.
   "Aku harus keluar dari villa ini" batinku, aku perlahan keluar dari kamar dan menuntun diri untuk cepat keluar dari villa ini.
   "Kak mau kemana?" tanya sepupuku. Zahra namanya. Waktu itu dia masih duduk di bangku kelas 7 SMP, dia merupakan sepupu yang aku anggap seperti adikku sendiri, dia orangnya cukup pekerja keras, katanya dia bercita-cita menjadi seorang atlit.
   Aku tersenyum "kakak pengen nyari udara segar" ucapku sambil bersiap-siap

   "Apa kakak sedang ada masalah?kalau iya tolong kasih tahu aku"
Aku terdiam dan pikiranku terpecah-pecah, apa aku harus melakukan ini, apa mereka akan sedih kalau aku tidak ada disini, apa aku bisa hidup. Pertanyaan yang terus memenuhi pikiranku, seolah-olah terperangkap dalam kepalaku.
   "Tidak ada, Kaka pengen pergi ke pantai aja" ujarku dan berjalan keluar villa. Menurut perkiraanku, untuk pergi ke arah pantai itu membutuhkan dua puluh langkah dari villa ini.
   "Cuaca yang bagus, sepertinya mati pun tidak sia-sia"
Ada seekor kadal dekat kaki ku. Kadal sungguhan. Aku merasa seolah dihakimi. Masalahnya tidak ada kadal yang bunuh diri. Semua kadal adalah penyintas. Kalau ekor mereka putus, ekor mereka akan tumbuh lagi. Mereka bukan hewan yang bisa bersedih-sedih, mereka juga tidak pernah depresi. Mereka melanjutkan hidup dengan santai betapa pun keras dan sulit keadaannya. Lebih dari apapun.
   "Kalau seperti itu mending aku jadi kadal saja." batinku

Villa ada di belakangku. Tempat yang adem, indah yang pernah aku tempati. Di depanku pemandangan yang luar biasa. Pantai yang berkilauan, seperti taplak meja biru kehijauan, serta dihiasi tebing-tebing yang nyaris sempurna. Pemandangan itu sesuai dengan definisi indah menurut semua orang. Namun, rupanya pemandangan yang paling indah di dunia pun tidak akan bisa mencegahku untuk bunuh diri.

Setahun yang lalu, aku sempat menonton film yang di rekomendasikan oleh temanku bahwa ada orang-orang yang selalu khawatir, mereka sangat mudah stress dan kita sering menganggap bahwa penyakit mental itu berasal dari faktor sosial, biologis, dan psikologis serta penyakit mental itu akarnya berasal dari stress. Selain itu, aku juga sempat membaca salah satu buku. Disitu dikatakan bahwa kegilaan harus dibiarkan saja menjadi kegilaan. Masyarakat akan ketakutan dan represif dan mengecap siapa pun yang berbeda sebagai sakit. Tapi ini memang penyakit. Ini bukan sekedar punya pikiran gila. Ini bukan sekedar bersikap sedikit sinting. Ini bukan tentang menghalusinasi tentang coklat batang raksasa. Ini penyakit.

Tadinya aku baik-baik saja, lalu aku tidak baik-baik saja. Kesehatan aku tidak baik, jadi aku sakit. Tidak penting itu itu salah masyarakat atau ilmu pengetahuan atau apapun itu, yang jelas aku tidak sanggup merasakan penderitaan ini lebih lama lagi. Aku harus mengakhiri hidupku.

Aku benar-benar berniat melakukannya. Saat itu keluargaku sedang berada di villa, mereka percaya kalau aku hanya ingin mencari udara segar.
Aku berjalan, lalu menghitung langkah, lalu lupa sudah sampai berapa. Pikiranku benar-benar pecah.
   "Tahan dirimu adis, cepat mundur", aku membatin.  Seingatku, itulah yang aku katakan pada diriku sendiri.
   "Keluargamu akan sedih, cepat mundur dan jangan jadi pengecut"
Aku berhenti dan menarik napas sedalam mungkin,aku benar-benar sudah sampai di bibir tebing—satu langkah lagi—luar biasa menegangkan—dibanding menanggung rasa sakit karena tetap hidup.

Dengarkan aku baik-baik. Kalau selama ini kalian berpikir bahwa seseorang yang depresi ingin bahagia. Kalian salah besar. Orang yang mengalami depresi sama sekali tidak peduli betapa menyenangkannya kebahagiaan. Mereka hanya ingin kepedihan dalam dirinya itu lenyap. Mereka ingin lari dari pikiran terbakar, saat semua isi benak menyala-nyala dan mengeluarkan asap bagaikan benda yang telah dilalap api. Mereka ingin menjadi normal atau lebih tepatnya kosong. Dan satu-satunya caraku untuk menjadi kosong adalah dengan berhenti hidup.

Tapi sebenarnya itu sangat tidak mudah. Ini hal yang aneh mengenai depresi; meskipun diriku atau kita yang mengalami penyakit ini sering berpikir untuk bunuh diri, rasa takut mati tetap sama. Jadi, jika kalian mendengar berita tentang seseorang yang bunuh diri, penting untuk diingat bahwa kematian tetaplah begitu menakutkan bagi mereka.
Itu bukan "pilihan" dari segi moral. Mempertimbangkan hal tersebut dari sudut pandang moral adalah kesalahpahaman.

Aku berdiri disana cukup lama. menarik napas sedalam mungkin, lalu mengumpulkan keberanian untuk mati, lalu mengumpulkan keberanian untuk tetap hidup. Menjadi ada. Menjadi tidak ada. Saat itu kematian pun begitu dekat. Andai rasa takutku bertambah segenggam saja, timbangannya akan miring. Mungkin ada semesta lain setelah saya mengambil langkah itu.

Aku punya mamah, ayah, dan saudaraku. Mereka adalah orang yang menyayangiku. Aku benar-benar tidak berharap ada yang menyayangiku. Tidak seorangpun. Rasa sayang membuatku terperangkap di sana. Sementara mereka tidak tahu seperti apa rasanya, tidak tahu isi kepalaku. Seandainya mereka bisa masuk ke dalam kepalaku 5 menit saja, mereka pasti akan mengatakan "oh baiklah, melompat saja, biar kamu tidak merasakan kesakitan separah itu. Lari, pejamkan mata, lompat dan cepat lakukan. Maksudku, kalau tubuhmu aku bisa menyampirkan selimut, tapi lidah-lidah apinya tak kasat mata. Tak ada yang bisa kami lakukan, jadi cepat lompatlah atau kalau tidak kasih aku pistol dan aku akan menembakmu."

Tapi bukan seperti itu caranya. Saat depresi, rasa sakit dan kepedihan itu tak kasat mata. Selain itu kalau aku boleh jujur, aku merasa takut. Bagaimana kalau aku tidak mati? bagaimana kalau aku lumpuh dalam keadaan diri yang seperti ini?

Aku rasa kehidupan menyediakan alasan agar kita tidak mati, seandainya kita memasang telinga baik-baik. Alasan itu bisa berasal dari masa lalu—mungkin orang-orang yang membesarkan kita, sahabat-sahabat atau para mantan kekasih — ada kemungkinan-kemungkinan yang kita matikan.

Jadi, aku tetap hidup. Aku kembali ke villa dan akhirnya aku muntah-muntah gegara stress.

Perjalanan Untuk Tetap Hidup Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang