Dengan Lo hidup di dunia, Lo ada diantara kesulitan-kesulitan itu. Capek. Tapi, mati juga bukan jalan yang mudah. Gak perlu muluk-muluk gua cuma mau jalani hidup semestinya, ngalir gitu aja. Wajar kan?
Tak ada kebahagiaan tanpa kesedihan, pun sebali...
"Hanya ada dua kemungkinan dalam hidup. Terus lanjutkan hidupmu atau akhiri!"
Satu jam lamanya, kini Saga sudah siuman. Tak ada luka serius, hanya lebam biasa. Demamnya pun sudah tak setinggi semalam. Setidaknya Arga bisa bernafas lega.
"Ga, Lo gak pulang?" Arga yang sibuk memainkan ponselnya menoleh. Atensinya teralih menatap Saga. "Lo ngusir gue?" "Lo lupa siapa yang bawa Lo kesini, Bang?" "Lo lupa siapa yang jagain Lo semalem, Bang?" "Lo lupa juga ini gara-gara siapa, Ga?" balas Saga. "Gak asik Lo, Bang. Bercandanya nyakitin!" Saga terkekeh.
"Emang gak boleh gue nginep disini?" "Lo pasti capek. Pulang aja, istirahat." "Ntar kalo gue balik gak ada yang nganterin Lo boker, Bang. Serius. Bukannya cepet sehat ntar makin makin dah Lo. Udah gue disini aja, Bang." "Gue gak lumpuh anjir. Masih bisa jalan kali." Saga memutar bola matanya malas.
"Kalo gue balik nanti Lo gak bisa tidur lagi, Bang. Gue gak mau itu terjadi. Padahal gue kemarin masih benci Lo tapi sekarang ilang gitu aja."
Saga masih diam mendengarkan. Arga tipikal orang yang jarang mengeluarkan keluh kesahnya. Mengingat hubungan mereka yang sebelumnya tak terlalu baik.
"Gue suka liat Lo tidur nyenyak kayak semalem. Lo pules banget tau. Sampe gue panggil gak nyahut. Tapi gue benci fakta yang Lo harus sakit dulu baru bisa tidur nyenyak, Bang." lanjut Arga. Tatapannya kini berubah sendu.
Saga terkejut. Bagaimana Arga bisa tau. Seingatnya penghuni rumahnya sudah tak ada aktivitas apapun. Saat tengah malam pun mereka sudah terlelap, berbeda dengan dirinya yang masih terjaga. Bahkan Aksa yang gemar bermain game hingga larut pun tak pernah memergokinya. Apa Saga melewatkan sesuatu?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Gue juga tau kalo Lo sampe tindik kuping bagian cartilage kan, Bang? Dan itu gak cuma sekali, hiks. Se resah itu ya Lo, Bang? Se berisik itu isi kepala Lo sampe Lo gak bisa merem dengan tenang ya, Bang?" tak tau kenapa Arga menjadi emosional. Matanya kini berkaca-kaca. Sejujurnya Arga cukup enggan dengan hal berbau rumah sakit. Hal ini sangat sensitif baginya.
"Arga? Lo nangis? Gue cuma tindik dan ini tuh ga sesakit itu, Ga. Jangan nangis," ucap Saga menenangkan.
"Bang Saga." "Arga boleh minta sesuatu?" "Agak banyak tapi, Bang. Hehe." Saga mengangguk mengiyakan. Tatapan teduh Arga mencabik-cabik nalurinya. Apakah saat ini Saga boleh berharap lebih?
"Mulai detik ini sampe seterusnya, Bang Saga mau terus berjuang bareng Arga, kan? Arga tau berjuang sendirian itu gak enak. Udah cukup selama ini Bang Saga sendirian. Sekarang terus ingat ada Arga disini. Jangan bosen bosen omelin Arga kalo Arga salah ya, Bang. Ingetin Arga kalo Arga masih punya Bang Saga yang harus Arga perjuangkan kebahagiaannya. Bang Saga mau, kan?"
Saga terenyuh, sejak kapan adiknya sudah sebesar ini. Matanya mendadak panas. Gemuruh didadanya berdetak tak karuan. Segera ia rengkuh Arga ke pelukannya, erat. Nyaman rasanya. Lantas tangannya mengelus bahu adiknya.