Ansel

93 54 9
                                    

"Hidupku hanya milikku. Perihal jatuh bangunnya aku, itu urusanku."

"Sel, gila ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sel, gila ya. Sepatu buluk kek gitu masih aja Lo pake, ups!" tawa Hazel dan Sabel mengejek. Seolah menemukan lelucon terbaik hari ini.

Ansel yang tengah menghapus papan tulis kini menoleh. Menatap sahabatnya tak percaya, kemudian beralih menatap sepatunya. Padahal tak seburuk itu, pikirnya.

Semua penghuni kelas sontak menatap kearahnya. Ansel merasa terintimidasi. Ayolah, dia tak melakukan kesalahan apapun, jangan berlebihan.

Ansel meremas ujung roknya risau, sedikit takut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ansel meremas ujung roknya risau, sedikit takut. Benarkah mereka sahabatnya? Jika iya, kenapa mereka melakukannya. Sebegitu buruk-kah dia hingga mereka melakukannya?

"Gue ke toilet dulu, ya." pamit Ansel. Melarikan diri lebih tepatnya.

"Wah parah Lo Zel, Bel. Mulut kalian jahat banget sumpah." ucap Sena setengah berteriak. Kepalanya menyembul keluar mengintip dari pintu, memastikan Ansel sudah pergi.

"Gue ngomongin fakta kali, Sen."
"Kalian semua juga setuju, kan?" ucap Sabel lantang menatap satu persatu teman sekelasnya. Keadaan kelas memang ramai saat ini.
"Dih parah ya Lo berdua. Sahabatan katanya nih haha." lanjut Sena.
"Kalo bukan karena Abangnya yang minta gak sudi juga gue sahabatan sama dia. Ya kan, Zel?"
"Hah? Si Ansel punya Abang?" celetuk Dion penasaran. Manusia kutu buku satu ini diam-diam menyimak ternyata.
"Iya. Lo kenal Samudra anak kelas 10? Dia adiknya si Ansel."
"Abangnya dia juga cakep-cakep banget, gila. Mayan, sekalian caper ya kan, Bel?"
"Licik banget Lo berdua, gila!"
"Dih! Ganjen."
"Busuk banget anjir."
"Ati ati karma!"
"Kalo gue jadi Ansel gak sudi gue sahabatan sama Lo berdua."
"Jijik yang ada!"
"Good luck deh, Lo!"

Bukannya mendapat dukungan penuh, justru teman sekelasnya kini memihak Ansel. Sabel menghentakkan kakinya sebal, begitu pun Hazel.

Bohong. Bukannya ke toilet, justru saat ini Ansel duduk mematung sendirian ditaman sekolah. Suasana cukup sepi, persis seperti yang Ansel butuhkan. Netranya menatap kosong pepohonan didepannya. Ansel mendengarnya, perkataan sahabatnya(?) Masihkah ia berharap persahabatan ini bertahan?

SAGARA | Lee Haechan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang