Aksara

88 51 8
                                    

"Muak. Tapi gak ada yang bisa gue lakuin. Pengecut, bukan?"

.
.

Hidup. Entah bagaimana memulainya. Hidup seperti apa yang sebenarnya gue inginkan? Hidup seperti apa yang sangat gue harapkan? Apa gue menginginkannya? Apa gue bisa menolaknya? Ini terasa sangat sulit bukan? Namun, menjalani kehidupan yang bahkan gue sendiri gak ngerti apa artinya ternyata gak seburuk itu.

Ingat jika kelas Sagara dan Ansel bersebelahan? Ya, ini benar-benar terjadi. Jam pulang sekolah tiba. Para siswa berhamburan keluar kelas. Berjalan dengan tergesa seolah enggan berdesakan.  Jam-jam rawan yang harus dipikirkan dengan matang ternyata.

"Gara." Sapa Ansel.
"Eh. Barengan nih. Jodoh kali ya?" Ledek Sagara. Tangannya menyenggol bahu Ansel menggoda.
"Apaan sih?!"
"Kok Lo salting sih, Sel. Hahaha."
Ansel benar-benar dibuat panas dingin, malu. Semburat merah di wajahnya bak kepiting rebus yang kentara. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih pucat.

"Si Ansel gatel banget jadi orang. Kemaren Arga, sekarang Sagara."

"Pake jalan bareng sgala. Dih najis!"

Bisik-bisik terdengar. Cukup jelas karena mereka—Hazel dan Sabel menggosip tepat dibelakangnya. Saat ini Ansel dan Sagara memang berjalan bersama.

Ansel menunduk. Mau bagaimanapun dulu mereka pernah dekat. Bohong jika Ansel tak merasa sakit hati. Jika dipikir justru berkali lipat rasa sakitnya karena mereka yang mengatakannya.

"Gak usah Lo dengerin, Sel. Biarin aja. Ntar kalo capek juga mingkem sendiri." Ucap Gara. Tangannya terulur tuk menutup kedua telinga Ansel.
"Iya, Gara."

"Bentar gue angkat telpon dulu."

"...."

"Bang Aksa? Arga? Di club?"

"...."

"Gue kesana sekarang."

Ttutt

Panggilan telepon terputus.

Sagara berbalik menatap mata Ansel. Tangannya terulur memegang kedua bahu Ansel dan menatapnya lekat.
"Sel. Lo pulangnya hati-hati, ya. Gue duluan." Saga pergi setelah menepuk pelan bahu Ansel.

"Gara. Lo mau kemana?!"

Teriakan Ansel diacuhkan begitu saja. Terus melangkahkan kakinya lebar menuju parkiran sambil bersusah payah mengambil kunci motor disakunya. Cukup sulit menggapainya karena dirinya sambil berlari.

Tin

Tin

Tin

Seolah menulikan pendengarannya, Sagara mengemudikan motornya dengan kecepatan penuh. Menyalip satu-persatu motor yang menghalanginya tanpa rasa takut. Bahkan Saga tak gentar bila polisi mengejarnya.

"Sialan!"

Keberuntungan sepertinya tak berpihak padanya, tiba-tiba kini hujan deras. Seragam sekolahnya ikut basah kuyup. Kaca helm yang tadinya nampak jelas perlahan mulai berembun. Seolah tak menghalangi jarak pandangnya, Sagara justru semakin melajukan motornya kencang. Dia benar-benar kehilangan kewarasannya. Persetan dengan keselamatannya, Arga benar-benar memenuhi pikirannya.

SAGARA | Lee Haechan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang