[Chapter 5]

68 25 96
                                    

Welcome!
Tak pernah author lelah untuk mengingatkan para readers kesayangan menekan tombol bintang, gratis kok guys hehe!

(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)
.
.
.

Pagi itu, di dalam kelas yang dipenuhi cahaya matahari pagi, terhampar suasana yang damai. Sebatang senyuman mempercantik wajah seorang gadis yang duduk di bangku kelas, di antara kerumunan teman-temannya. Rambutnya terurai dalam kepang yang rapi, sematan jepitan rambut kupu-kupu kesayangannya menambah sentuhan keanggunan.

Melona merasa detak jantungnya berdegup lebih cepat ketika ia duduk di ruang ujian, menghadapi lembar kertas putih yang terletak di depannya. Matanya menyelusuri setiap huruf, setiap kata, seolah-olah kertas itu menyimpan teka-teki tak terpecahkan.

Dia memulai perjalanan penuh tantangan dengan membolak-balikkan lembar ujian itu, mencari jejak pertanyaan yang sesuai dengan upayanya semalaman. Satu demi satu, pertanyaan-pertanyaan sulit menghampiri, menguji pengetahuan dan pemahamannya. Lembaran kertas putih menjadi medan perang bagi pikirannya yang penuh dengan ingatan.

Melona mencoba merangkai kata-kata dan rumus yang ia pelajari, seperti seorang seniman yang menciptakan lukisan abstrak. Pandangannya terus terfokus, matanya menembus setiap kata-kata yang terpampang di atas kertas itu. Waktu menjadi seperti aliran yang tak terduga, melaju cepat saat setiap detik berharga.

"Lo bisa ga, Mel?" bisik Galang dari bangku depannya.

"Susah ini mah gila, gue udah belajar semalem cuma keluar satu sampe tiga soal doang," gerutu Melona frustasi. Bisa-bisa kali ini habis dipukul oleh sang papa lagi.

Hilsya, salah satu murid kelas ini yang pernah menduduki rangking pertama. Gadis itu mengangkat tangan kanannya, "Bu, kok ini soalnya sangat asing ya? Setau saya ini belum pernah diajarkan sama ibu," keluhnya.

"Iya Bu, saya setuju dengan Hilsya." sambung Melona.

"Saya juga, Bu," timpal Kaisar.

Guru itu Bu Hera, dengan ekspresi datar dan tegas, memberikan jawaban yang seakan-akan menggantungkan harapan mereka. "Sudahlah kalian kerjakan saja sebisanya, pokoknya soalnya yang ibu buat itu, ibu tidak akan mengganti soal dengan soal yang lain." Suaranya bergetar di udara, membawa ketidakpastian yang semakin mendalam, dan suasana kelas yang dipenuhi cahaya pagi kini terasa semakin redup.

Ketidakpuasan melayang di antara murid-murid seperti awan gelap yang menutupi langit biru. Melona menggertakkan giginya, merasa sebuah keadilan telah dirampas di depan matanya. "Ini nggak adil banget, Bu! Kami udah capek-capek belajar, kok soalnya malah kayak gini?" desaknya.

Galang mengangguk setuju, "Iya Bu, kayaknya ini nggak fair. Kita kan udah berusaha semaksimal mungkin."

"Saya pikir ada baiknya kalau kita dapat penjelasan mengenai soal ini, Bu. Supaya kami bisa memahaminya dengan lebih baik." tambah Gevan.

Wajah-wajah murid yang mencerminkan ketidaksetujuan berserak di seluruh kelas. Mereka, seperti pasukan yang bersatu, tidak ingin menyerah begitu saja di hadapan ketidakadilan. Galang, dengan nada yang penuh keberanian, mengekspresikan ketidakpuasannya, "Kami berhak tahu kenapa soalnya seaneh ini, Bu. Kami belajar dengan tekun, tapi rasanya sia-sia."

Guru itu terlihat agak terkejut oleh gelombang protes yang muncul. Namun, dia tetap tegar, "Kalian tetap harus mengerjakan soal ini sesuai kemampuan kalian. Penjelasan bisa diberikan setelah ujian selesai. Ini juga cuma soal pilihan ganda, kalian tidak harus memikirkan kalimat untuk mengisi soal ini,"

Ck!

Para murid pun pasrah dengan keadaan, guru satu itu memang sangatlah menyebalkan, tidak ada gunanya berdebat dengan Bu Hera.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Secret DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang