4. Majalah Dinding📜

252 10 2
                                    


"Majalah dinding itu menjadi saksi, tentang aku yang terlalu berharap dan kamu yang terlalu asal berucap"_Zayna Azzahra Lubis
.
.
🌿🌿🌸🌿🌿
.
.

Sudah sedari pagi Nana dan Mayla merayuku dengan segala macam cara agar aku mau ikut serta mengurus program pemasangan Mading yang diganti tiap 1 minggu sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah sedari pagi Nana dan Mayla merayuku dengan segala macam cara agar aku mau ikut serta mengurus program pemasangan Mading yang diganti tiap 1 minggu sekali. Tentu saja aku menolak, selain melelahkan aku jugaa tidak suka keramaian dan pusat perhatian. Harus masuk satu persatu ke kelas lain untuk meminta Mading tersebut. Bisa dikatakan aku adalah makhluk paling pemalas diseluruh penjuru sekolah ini, jika menyangkut dengan hubungan sosial. Bukan berarti aku tidak mau bekerja sama sekali. Aku melakukan apa yang menurutku perlu dan meninggalkan yg menurutku tidak perlu. Ya seperti itulah aku.

"Zaynaaa, bantuin napa? Tega banget lo lihat temen kesusahan gini" ucap Nana dengan nada memelas sembari memegang beberapa gulungan kertas warna warni.
"Apa lagi sih Naaa?" jawabku ogah-ogahan.
"Minta tolong bawain ini ke ruang OSIS" jawabnya sambil menyodorkan gulungan kertas padaku.
"Kan lo bisa bawa sendiri kesana" jawabku lagi, sembari melanjutkan membaca novel Harry Potter ditanganku.
"Gue sama Mayla mau ke bawah, narik mading kelas 9" jawab Nana yang kemudian menutup paksa novel yg kubaca.
"Harus banget sekarang ya?" tanyaku lagi.
"Iyha Zay, oke makasih ya" ucap Nana yang langsung berlalu dari hadapanku. Mayla menyusul Nana sebelum aku sempat berbicara padanya.
"Di ruang OSIS ada orang nggak woi?" tanyaku cepat.
"Nggak ada Zay, nanti gue nyusul" jawab Mayla dari kejauhan.
Bukan apa, jam segini biasanya di ruang OSIS ada Daniel dan Harris yang entah tiap disana membahas apa aku tidak tahu. Akhir-akhir ini aku malas sekali bertemu ataupun sekedar berbincang dengan Daniel. Apalagi menghadapi kejailan Harris yang tiap hari tiada habisnya.

Pada akhirnya, dengan langkah santai aku berjalan menuju ruang OSIS yang tepat berada di samping ruang kelas XII b.
Tinggal selangkah lagi aku mencapai ambang pintu terdengar suara Daniel dan Harris dari dalam ruangan yg sedang tertawa. Hitungan detik, wajah tengil Harris sudah berada tepat di hadapanku.

"Eh, mau ngapain Na?" tanya Harris padaku.
Langsung saja aku mengangkat segulung kertas di tanganku tepat di depan wajahnya yang kemudian tersenyum.
"Lo nggak lihat apa yang gue bawa?" jawabku.
"Yaelah nanya doang, judes amat si Na" jawab Harris lagi masih dengan senyum tengilnya. Entah kenapa emosiku meningkat 50% tiap kali aku bertemu dengan laki-laki di hadapanku ini.
"Lagian, pakek nanya" sautku lagi masih dengan nada jutek.
"Ya udah gue pergi dulu Na" ucap Harris yang tiba-tiba hendak berlalu dariku.
"Eh, mau kemana si Is?" tanyaku dengan tangan refleks menarik ujung seragamnya yang tidak dimasukkan ke celana (benar-benar tipe badboy).
"Mau ke kantor ketemu Pak Soni buat acara pepantikan Pramuka minggu depan" jawab Harris panjang lebar, padahal aku tidak memintanya menjelaskan urusan apa yang akan dilakukannya. Dia selalu seperti itu, seolah tidak ada rahasia diantara kita.
"Oh" jawabku singkat.

Refleks pikiranku tertuju pada Daniel yang bearada di dalam ruang Osis sendirian, itu artinya jika Harris pergi aku akan berduaan dengan Daniel di dalam ruangan. Aku bahkan tidak bisa membayangkan betapa canggungnya itu.
"Bisa lepasin dulu nggak Na?" tiba-tiba ucapan Harris menyadarkan lamunanku. Dengan cepat aku menurunkan tanganku dari ujung seragamnya.
"Bisa nanti aja nggak lo ke kantornya?" ucapku pada Hartis yang langsung tertawa mengejek. Benar-benar menyebalkan.
"Kenapa sih? Di dalem juga ada Daniel" jawab Harris masih dengan senyum sama.
"Tapi kan..." pada akhirnya kalimat dari mulutku menggantung tidak jadi keluar.
"Ya udah cepetan masuk" ucap Harris tiba-tiba. Aku menatapnya yang tengah bersandar di tembok samping pintu ruang Osis.
"Oke" jawabku dengan senyum yang entah berasal dari mana asalanya. Aku langsung melangkah masuk ke dalam ruang, tanpa berpikir banyak. Aku medapati Daniel yang tengah duduk di depan laptop dan melihat ke arahku.
"Hai Ayna" sapa Daniel padaku.
"Hai, ehmm mading sama kaligrafi ini taruh dimana ya Dan?" tanyaku pada Daniel.
"Taruh atas meja aja, nanti biar gue yang pasang" jawab Daniel tanpa basa-basi.
"Oke, gue keluar dulu ya" Daniel menganggukkan kepala dengan senyum dinginnya seperti biasa. Anehnya dengan senyum dingin itu, hatiku terasa dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan kesana kemari.

Seketika aku tersadar dari pikiranku saat mendapati Harris masih berdiri di depan pintu ruang Osis menungguku keluar.
"Udah?" tanya dia kepadaku dengan satu tangannya masuk ke dalam sakunya.
"Udah, makasih ya Is" jawabku.
"Sama-sama Na" ucap Harris sambil berlalu dari hadapanku tanpa melihat ke arahku.
"Is bentar.." ucapanku menghentikan langkahnya yang kemudian berbalik lagi ke arahku.
"Lo mau ketemu pak Soni dengan seragam kek gitu?" tanyaku sambil menunjuk seragamnya yang tidak dimasukkan. Sontak aku melihat senyum aneh di wajah Harris, bukan senyum tengil yang biasanya sering diperlihatkan padaku. Tanpa lama-lama aku langsung melangkahkan kakiku meninggalkan Harris yang masih diam di tempat menuju ruang kelasku.

.
.
🌿🌿🌸🌿🌿
.
.

20 November 2018

"Aku ingin berbicara seperti tak pernah ada apa-apa antara kita
Aku tahu yang aku rasakan ini tidak semestinya
Hanya saja, izinkan aku menikmati rasa ini meski tanpa sepatah kata"

M. Azka Harris

"PORTULACA" On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang