Erkan menyantap makanannya tenang. Meski dalam hati dia begitu dongkol karena rencana kaburnya di hentikan Galen. Demi image dan harga diri, tentu dia tak akan mencak-mencak dan mereog hanya karena masalah sepele.
Dirinya menerima perlakuan ini sekali okay. Noted, sekali.. Jika sampai tiga kali, awas saja. Erkan akan benar-benar pergi dari kediaman ini. Lagi pula duitnya banyak. Ralat, uang Bian.
Ujung matanya melihat sekeliling, lalu mengangguk ketika dia sudah tau siapa nama-nama dari orang-orang yang berada di sini. Memungkinkan dirinya untuk tidak bersikap bodoh dan membuat Brawijaya curiga jika Bian tidak ada, dan raganya telah di gantikan olehnya, Erkan Gani. Manusia paling tampan sejagat raya.
Pekerja keras dan tak kenal lelah. Tidak sih, lelah. Tapi ya mau bagaimana. Erkan Harus bekerja keras ketika memutuskan mandiri. Dia tak ingin di ejek habis-habisan oleh orang tuanya karena sok-sokan mau mandiri.
Oh Ngomong-ngomong orang tuanya. Apakah mereka tau jika anaknya berada disini. Lebih tepatnya, bagaimana keadaan tubuhnya disana. Mati suri? Pingsan? Atau cosplay jadi pangeran tidur yang menunggu putri raja?
"Bian, apa makananya kurang pas untukmu?" tanya Naya lembut, dia menatap Erkan was-was.
Bian menggeleng. "Tidak nyonya, makanan ini pas untuk saya."
Jawaban Bian membuat semua yang di sana membeku. Apa tadi, Nyonya? Bian memanggil Naya nyonya?
Mereka terkejut pada diri mereka masing-masing. Namun Erkan menikmati sarapannya tanpa mengetahui raut terkejut orang-orang. Jangan salahkan Erkan, salahkan saja kebiasaan dirinya selalu memanggil sopan siapapun orang yang ia temui.
Lagi pula, ini Erkan.. Bukan Bian. Jadi seharusnya, mereka harus siap untuk terkejut di lain waktu.
"Apa tadi? Kamu memanggil oma apa?" Suara Naya tercekat. Dia sungguh sedih. Apakah cucu sulungnya itu sudah pasrah? Sialan, ini karena keluarganya. Anak malang itu telah berubah.
Erkan mendongak, agak kaget sebenarnya melihat banyak pasang mata melihat kearahnya. "Hm? Maksud nyo-puk!" Erkan menutup mulutnya. Merutuki dirinya sendiri karena memanggil Naya dengan sebutan nyonya.
Sial, dia lupa jika sekarang menempati tubuh seorang Bian Tirta.
Drek!
Memilih berdiri dan mendorong kursi kebelakang. Erkan pamit undur diri. Dia terlalu malu. Lihat saja tatapan orang-orang itu. Pasti mereka tengah menertawakan dirinya. Oh sial. Mengapa dia harus bersikap konyol. Sadar Erkan, Bian hanya anak angkat. Jangan menempatkn dirimu di posisi sulit, gerutunta dalam hati.
Yang tidak Erkan tau, bahwa semua yang ada di meja makan. Menganggap jika Bian telah berubah. Bian Tirta, pria yang selalu menampilkan senyum manisnya kini terlihat ketakutan ketika berada di sisi mereka.
"Lihat! Gara-gara kalian! Anak seperti Bian pasti trauma!" Seru Naya. Dadanya kembang kempis. Matanya memicing menatap Andra. "Kamu puas kan? Sekarang kakak yang kamu benci itu terlihat takut padamu!"berangnya. Mereka semua diam, terutama Andra.
Bukan apa Naya berkata demikian. Dia sudah sering menghalangi Andra untuk mengusili atau berbuat yang tak sopan pada Bian Tirta. Namun bocah itu acuh dan sering melakukannya ketika dirinya tak ada. Sudah sering juga menasehati cucu nya itu untuk berhenti.
Tetapi bukannya berhenti, malah makin menjadi-jadi.
Keluarganya juga malah diam, bukannya memarahi Amdra, tetapi malah menikmati apa yang Andra lakukan termasuk Galen. " Sepertinya mama harus membawanya ke Canada bersama mama dan papa besok!" ujar Naya pada Galen.
"Bian memiliki perusahaannya sendiri disini ma."
"Mama bisa membeli perusahaan untuknya di Canada nanti!"
"Tetap tidak bisa. Bian putraku. Mama tidak berhak."
**
Melajukan Buggati milik Bian hati-hati, Erkan bersenandung senang. Ugh, sungguh dia sangat menyukai hidupnya yang sekarang. Meski hidup di raga orang lain, tetapi kehidupannya terjamin. Makan enak, jadi bos pula.
Melipir sejenak pada coffeshop yang baru saja buka. Erkan memesan coffelatte sebagai tambahan penyemangat harinya. Setelah selesai memesan, Erkan pun segera kembali ke dalam mobil menuju kantornya. Paginya cerah, matahari bersinar dengan terik.
"Pagi tuan." Seru semua orang ketika bertemu dengan dirinya. Agak aneh ketika orang-orang memanggil dirinya 'tuan' dan membungkuk sopan. Biasanya, dirinya lah yang harus membungkuk, sekarang malah sebaliknya.
Erkan menjawab sapaan itu dengan anggukan. Kemudian melangkah lebar agar segera sampai ke ruangannya. Agak tidak enak melihat semua orang terlihat begitu sopan pada dirinya.
"Selamat pagi tuan Bian." Rama datang ke ruangannya. Membawa berkas-berkas yang harus dia kerjakan hari ini.
"Jam sembilan nanti akan ada rapat mengenai kerja sama dengan Star Company mengenai tanah yang akan kita beli. Lalu setelahnya, saya harus menyurvei beberapa tempat lainnya. Sementara tuan Bian harus menyelesaikan berkas ini. Jam 2 nanti akan ada rapat tambahan mengenai penambangan." Rama membacakan agenda yang akan di lakukan Erkan seharian nanti.
Erkan meminum kopi nya lalu mengangguk. Tangannya dengan lincah mengerjakan sesuatu di laptop. Sementara, matanya fokus pada kertas dan layar.
"Okey, sekarang jam 8. Masih ada satu jam untuk memulai rapat. Mungkin itu cukup untukmu memenuhi pesanan Tuan Nicolas."
Rama mengangguk patuh. "Baik tuan."
"Oh iya Rama. Katakan pada manajemen keuangan. Dia berhutang penjelasan pada saya setelah dia menarik uang sebesar 25 juta secara cuma-cuma."
"Baik tuan." Rama pergi dari pandangan Erkan setelah mengucapkan kata itu.
Erkan menghela nafas. Baru saja sampai dia harus bekerja keras. Memang budak kantoran. Meski sekarang dia bossnya. Dia tidak boleh enteng dan lari dari tanggung jawab. Semua harus terkendali tanpa celah di dalamnya.
Lalu, hari sudah usai. Terang kini berubah gelap. Erkan melonggarkan dasi yang mencekik nya seharian ini. Menghela nafas dan meminum minuman penambah stamina yang di belikan oleh Rama.
Melihat jam melingkar di tangan, menunjukkan angka 8. Oh, dia lembur lagi. Bekerja tanpa ingat waktu. Yah, lagian kan hidupnya dari dulu sendiri. Tak ada yang harus dia nafkahi atau buntut di belakang. Jadinya, Erkan tak perlu memikirkan hal lain selain dirinya.
Ponsel di atas mejanya bergetar. Erkan mengambil ponsel tersebut dan mendial ikon hijau lalu me loudspeaker. "Halo ayah." Ya, yang menghubungi dirinya adalah Galen.
"Lembur lagi?" Suara Galen sedikit berat disana.
Erkan menelan ludah gugup. Sial, suara Galen terdengar mengerikan meski dia sudah dua kali mendengarnya. "Ya, saya harus. Sebagai hukuman sendiri karena telah gagal beberapa waktu yang lalu."
"Jangan memaksakan dirimu boy. Tanpa bekerja pun ayah bisa menghidupi seluruh hidupmu."
Erkan terkekeh. Orang kaya memang beda. "Itu tidak akan terjadi ayah. Saya sudah dewasa, tidak sepantasnya saya terus bergantung pada anda."
Terdengar desakan disana. "Apa ini Bian? Kenapa kamu begitu formal pada ayah?"
Erkan tak menjawab pertanyaan ayahnya. Dia mengalihkan percakapan ke arah lain. "Saya tutup ayah. Saya akan bersiap untung pulang."
"Ya, lekaslah pulang Boy. Kamu harus di beritahu beberapa hal. Bian ayah tidak seperti ini." Erkan bungkam.
"Ayah menunggumu di rumah."
Sambungan terputus. Erkan nenghela nafas. 'Aku memang bukan Bian mu om. Aku, adalah Erkan Gani. Pria yang menempati raga putra angkat mu yang entah seliweran kemana sekarang.' dia bermonolog. Meski sendiri, Erkan harus hati-hati.
Dia tak ingin orang-orang mengetahui fakta itu. Selain dirinya akan di anggap gila, Erkan tak ingin mengambil resiko lainnya.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Angkat ( Stop )
Teen FictionBiasanya sebuah keluarga mengadopsi anak untuk menjadi bungsu. Terkadang juga di jadikan sebagai anak tunggal karena tidak bisa memiliki keturunan. Akan tetapi sebuah novel berjudul 'My Story' menceritakan tentang ketidaksukaan seorang Andra Brawij...