20.

9.8K 1.1K 88
                                    

"Kenapa sih! Lagian kan aku udah ngalah, udah menjauh dari Vier. Antar jemput Andra tiap hari tanpa ngeluh. Main sama Vier aja udah di marahin segitunya." Erkan menggerutu, melampiaskan kekesalannya dengan menggigit bantal. 

"Aku rindu Vanya. Hanya di Vier aku bisa melampiaskannya." melemaskan tubuhnya, Erkan tidur tengkurap.

Erkan pun ingat perkataan Javier, dia jadi kesal sendiri. "Biasanya pun Andra terbiasa tanpaku. Sekarang aja kek ga mau di tinggal." 

"Dia ga tau ya? meski kita berbaikan aku masih trauma?" Erkan meraup wajahnya, sesak sekali ketika merindukan orang tuanya, keluarga kecilnya. 

"Pengen pulang, huft."

Erkan menggerutu tanpa sadar usia. Sudah kebiasaan dirinya jika kesal bercerocos mengatakan ketidaksukaannya. 

Pintu terbuka, masuklah Naya menggunakan gaun putih selutut di padukan dengan selendang berawarna cream. Naya terlihat Anggun meski usianya tak lagi muda.

Mendekat pada Erkan lalu duduk di sebelahnya. Dia mengelus rambut cucunya itu sayang. "Habis dari mana?" Tanya Naya basa basi. 

"Dari keluarga Atmaja nenek." tentu walaupun basa basi, Erkan mesti menjawab.

"Bahagia sekali sampai lupa waktu ya~" terselip godaan dan juga sindiran dari ucapan Naya. Wanita tua itu memang tersenyum, tetapi senyum itu merupakan senyum palsu.

"Jangan terlalu dekat dengan orang lain selain keluarga." 

Erkan mengepalkan tangannya kuat. "Kenapa?" suaranya bergetar menahan kesal.

"Kita tidak tau ancaman apa yang dibawa orang asing pada kita." Naya memberikannya petuah. Akan tetapi, semua itu seakan merujuk pada Vier seorang.

"Sudahlah lebih baik kamu membersihkan diri lalu istirahat. Besok temui adikmu, dia tak keluar kamar semenjak kamu mengingkari janji untuk pulang," ujar Naya ketika Erkan hendak menjawab.

Naya beranjak pergi meninggalkan Erkan yang menahan kepalan tangan. "Apasih yang- Argh!" Lama-lama Erkan setres jika seperti ini. Seolah dirinya ditekan untuk tidak dekat dengan orang asing. 

Erkan memilih beranjak membuka baju bagian atasnya dan pergi ketoilet. Mungkin dengan mandi, ia akan sedikit rileks. Sudah seperti orang yang memiliki masalah berat dirinya tuh. 

Ia harus pintar mengontol emosi dikemudian hari. Menelaah ucapan setiap orang sebelum menelannya. 


Keesokan harinya, sesuai permintaan Naya dan juga atas inisiatifnya sendiri, Erkan berdiri di depan pintu kamar Andra. Mengetuk beberapa kali. Tetapi tidak ada jawaban. 

"Andra, kamu didalam?" serunya, cape juga menggedor-gedor pintu. 

Akhirnya setelah sekian lama, Andra keluar dengan wajah segar. Dia tersenyum menatap Erkan. "Iya bang. Maaf ya lama dibukanya, aku baru selesai mandi nih." 

Erkan tersenyum tipis, dia usak rambut basah Andra lalu berkata. "Cepat ganti baju. Mumpung wekeend, kita jalan berdua. Juga, sebagai permintamaafan abang karena ingkar tadi malam." 

"Benar bang!?" Andra menyahut antusias. 

"Iya, makanya cepat, nanti abang tinggal kalo lama." 

"Bentar ya bang!!" Andra pun grusak grusuk masuk kedalam.

Erkan tersenyum getir, Dia merasa bersalah pada Andra. Harusnya dia bisa bersikap dewasa seperti seharusnya, tetapi dia malah menyikapi semua layaknya remaja pubertas.

Trauma memang ada, tetapi bukankah seharusnya ia lawan trauma itu. Sosok yang menjadi traumanya kini telah berubah, lalu kenapa ia tak mencoba membuka hati lebih lapang. 

Sifatnya seperti remaja kemarin sore. Labil dan tak dapat di mengerti. Menyalahkan orang lain atas tak becusnya dia menjadi saudara. 

Mengangkat kedua tangannya, mengingat bagaimana saudaranya itu menangis meraung meminta maaf atas semua kesalahannya.

Dari awal hubungan mereka membaik, dia yang sering ingkar pada saudaranya. Kalau seperti ini, dia sama saja seperti Andra pada masa lalu. 

Erkan sudah menghilangkan apa yang selalu melekat pada dirinya. Rasa tau diri dan harga diri yang ia junjung tinggi menipis seiring berjalannya waktu.

Hidup di keluarga Brawijaya menekan dirinya untuk selalu percaya diri dimanapun kapanpun dia berada. Harga diri yang selalu di pertanyakan ketika dia yang sudah dewasa ini di manja oleh mereka para orang dewasa.

Membawakan sisi egois dalam diri Erkan. Sisi manja yang jarang dia perlihatkan. Bahkan untuk bekerja pun enggan rasanya. Padahal dari awal, dia begitu semangat menjalaninya. 

"Loh abang! Abang nunggu disini?" Kaget Andra melihat sosok abangnya yang tetap berdiri di depannya. 

Melihat eksitensi Andra, Erkan sontak memeluk Andra erat. "Maafin abang yah. Padahal kita baru aja berbaikan. Tetapi abang malah ngecewain kamu." 

Andra tersenyum, membalas pelukan Erkan lalu berkata. "Emm.. Abang ga ngecewain Andra. Hanya sedikit kesal karena abang datang terlambat." 

Melepaskan pelukan Erkan pun tersenyum. "Yasudah yuk. Kita berangkat, keburu tutup Mall nya." 

"Loh kita kesana? Lagi pula, mana ada mall tutup jam 7 abang! Yang benar mereka masih beberes untuk buka." 

"Siapa tau mendadak pemilik mall bedmut." 

"Abang ini ada-ada saja." 

Keduanya terus mengobrol hingga tertelan pintu. 

Interaksi keduanya dilihat oleh seluruh keluarga. Naya, sebagai orang yang menunggu momen ini begitu lama sangat bahagia. 

"Kan, aku yakin akhirnya Andra akan berubah. Mereka begitu harmonis. Aku akan membuatkan mereka cake," ujar Naura dan segera pergi dari sana di ikuti Naya. 

"Javier, ambil alih perusahaan Bian sementara waktu. Anak nakal itu butuh banyak waktu dengan saudaranya," Titah Gerald. 

"Tanpa kau perintahkan aku sudah melakukannya pak tua." 

"Cekatan juga kau." 

Galen yang memang selalu tak mengeluarkan suara didalam hatinya menghangat. Melihat kedua putranya akur membuat sesuatu terasa berat terangkat di bahunya.

Ia merasa bisa tenang pada akhirnya.








Ada yang ingat ga? aku pernah nyebut nama istri si Galen atau enggak?

Btw

To be kon-

Anak Angkat ( Stop ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang