Erkan mendesah lega, dia menutup pintu rapat. Menguncinya agar tak ada yang masuk dan mengganggunya. Kepalanya luka dan banyaknya pertanyaan dari Brawijaya membuatnya semakin sakit kepala. Mengapa orang tua itu selalu menanyakan hal retoris.
"Mereka gila. Menanyakan hal tidak penting disaat ada orang sekarat," gerutu Erkan. Kakinya melangkah hingga kini ia berada di kasur empuk miliknya.
Tubuhnya ia rebahkan dan menikmati sensasi rileks. Namun, itu hanya sebentar karena ia teringat dengan pekerjaan yang masih menumpuk. Berguling ke sana ke mari hingga kepalanya yang sakit semakin sakit dibuatnya. Stres tapi rasanya kurang puas. Haruskah ia membenturkan kepalanya?
Menggelengkan pikiran tak berfaedah, Erkan kembali bangkit dan mengambil laptop miliknya. Maniak kerja ya maniak kerja, tak usah ditanya. Dia duduk untuk mengerjakannya.
Erkan tidak peduli dengan sekitar jika sudah berhadapan dengan pekerjaan. Ditemani secangkir kopi yang entah sudah dari kapan nangkring disana, dia terus memandangi laptop. Jari jarinya dengan lincah mengetik setiap kata dan angka.
Hingga sesaat fokusnya terganggu karena dobrakan pintu kamarnya. Dia menatap datar si pelaku yang kini menatapnya dengan tatapan tidak bersahabat.
"Puas lo! Gara gara lo gue selalu disalahkan. Gara gara lo gue selalu tersingkirkan. Gara gara lo gue ga bisa ngerasain lagi pelukan seorang ibu. KENAPA LO GA MATI AJA BANGSAT!! HARUSNYA LO YANG MATI BUKAN IBU GUE SIALAN!!" Andra datang, menarik kerah Erkan hingga pria itu berdiri.
"ORANG SEPERTI LO YANG NGEBUAT GUE MUAK BERADA DI RUMAH INI! KENAPA LO TAU PERGI AJA! MENGHILANG AJA LO SELAMANYA!!" teriakan Andra memekakkan telinga.
"LO ITU GA PANTES ADA DI KELUARGA INI! LO PEMBAWA SIAL BAGI IBU GUE! LO UDAH BUAT IBU GUE MATI! KENAPA LO HARUS HADIR DI ANTARA KEBAHAGIAAN KAMI! KENAPA HARUS LO DULU YANG ADA!!"
Erkan mengernyit ketika suara bass itu mendengungkan telinganya. Oh ya ampun, memang suara remaja itu tiada tandingannya. Memegang telinga sejenak, Erkan melepaskan tangan Andra dari kerahnya. Percuma saja dia melawan remaja labil seperti Andra.
Jadi yang bisa dia lakukan adalah menepuk dua kali kepala Andra, lalu duduk meminum kopi dan kembali menyibukkan diri dengan kerjaan. Mengabaikan Andra yang kini sudah diam. Tubuhnya kaku mendapatkan perlakuan baru saja.
BRAK!
Mendorong tubuh Erkan, Andra menatap tajam. "Lo!" Tunjuknya pada Erkan.
Erkan hanya menurunkan jari Andra, menoleh sejenak untuk tersenyum kepada remaja itu. Bukan senyuman ramah, tetapi senyuman agar Andra paham jika dia terganggu.
Tetapi lain di Erkan lain di Andra, bocah itu merasa ada sengatan listrik di dadanya. Ribuan kupu-kupu seperti berlomba terbang di perutnya. Perasaan membuncah yang tak pernah dia rasakan. Degupan jantung berpacu dua kali lipat.
Andra menatap garang Erkan, tanpa banyak kata, dia keluar dari ruangan itu. Amarah yang tadi dia rasakan seketika hilang, di gantikan dengan perasaan asing. Perasan campur aduk yang gak bisa dia jelaskan.
Memandang kepergian Andra, Erkan menghela nafas ketika Andra tak menutup kembali pintunya. Padahal tadi adik Bian itu semangat mendobrak, giliran balik, jangankan di tutup, di lirik aja tidak.
Sedangkan di sisi Andra, dia menepuk-nepuk dadanya. "Lo kenapa si dra. Tadi lo marah, sekarang lo malah ngerasa seneng." Andra merasa heran dengan perasaannya. Moodnya seketika berubah saat kakaknya menepuk kepalanya dan tersenyum padanya.
Sudah lama Andra tidak melihat senyuman itu. Mengacak rambut frustasi, Andra berdecak tak ingin memperdulikan, Andra terus berjalan menuju kamarnya.
*
Andra meng geleng-geleng kepalanya. Pikirannya melayang apa yang terjadi pagi tadi. Dengan pakaian rumahan, Andra turun kebawah untuk makan. Pasalnya tadi dia belom sempet makan karena harus di ceramahi dan ditanyain ini itu.
Mengigat itu, ingatan Andra jatuh pada senyuman Bian. Memegang kepala, Andra senyum-senyum sendiri. Lalu kemudian menepuk kepalanya karena merasa konyol. "Keknya gue udah mulai gila!"
Bisa di bilang, Andra senang, Andra bahagia karena perlakuan kecil itu. Tetapi pemuda itu menampik keras perasaannya.
"Bi, buatin aku makan." Andra duduk dan meminta makanan kepada maid.
"Baik den."
"Bi, buatkan aku juga." Suara lain menyahut membuat Andra menoleh, lalu memutar bola mata malas mengetahui siapa dia.
"Tidak sekolah?" Tanya Deon. Sepupu Andra itu kini duduk bersebrangan dengan Andra.
"Menurut abang? Ga mungkin rohku yang jalan ke sekolah sementara aku disini." Andra menjawab sinis.
"Apa kau sedang berada di fase datang bulan?" Tanya Deon polos.
"Abang pikir aku wanita!"
Deon menggeleng. "Tingkahmu mirip wanita. Kau tau, pacarku kemarin marah-marah ga jelas. Seperti yang kau lakukan sekarang. Dia sedang datang bulan. Siapa tau kau sama seperti dia."
Andra tidak mejawab, dia mensibukkan diri dengan ponselnya. Jika di ladeni lebih lanjut, dialah yang akan tersulut emosi. Memang selain sepupu perempuannya, Deon juga memiliki bibit membuat orang kesal terhadapnya.
"Bang Bian belom keluar ya?" Andra mengangkat bahu tidak peduli.
Tak mendapatkan jawaban, Deon beranjak dan pergi. Niatnya untuk pergi ke kamar Bian. Tentu dia khawatir terhadap saudaranya itu. Kepalanya terhantam ponsel, pelakunya malah santai memakan makanannya.
...
Erkan menghirup udara segar di taman. Setelah peperangannya dengan Naya untuk keluar rumah. Juga, Deon yang menanyakan ini itu. Erkan baru tau jika tokoh Deon bawel. Padahal di dalam cerita tidak seperti itu.
Semua tokoh-tokoh di novel ini sangat berbeda dengan deskripsi. Semuanya terlihat out of Carracter.
Jika di bilang sakit hati karena ucapan Andra tadi pagi, jawabannya iya. Tetapi raga yang dia tempati seolah memberitahunya tak boleh membenci Andra sekeras apapun anak itu memaki dan menghina dirinya.
Erkan benci itu. Erkan benci ketika dia tidak bisa bertindak semaunya. Meski dia adalah jiwa nyasar, tetap saja tubuh ini miliknya. Lalu dari mana insting untuk tak membenci Andra itu datang.
Bian tak pernah datang padanya.
Erkan melamun di kursi taman. Memikirkan segala hal yang berkaitan Bian Tirta. Hingga seseorang menarik ujung bajunya. Erkan melirik ke arah orang yang ternyata anak kecil? Mungkin usianya 14-15 tahun. Penampilannya kacau, wajahnya kusam.
"Abang, boleh minta uang buat beli nasi? Vier belom makan abang."
Suara itu kecil dan parau. Erkan tentu iba, dia beranjak dan berdiri bertumpu pada lutut. "Belom makan?" Tanyanya. Anak bernama Vier itu mengangguk lemas.
"Vier belom makan selama dua hari. Vier cuma minum dari air kran di ujung taman, " jawabnya menunjuk di ujung sana.
"Orang tua Vier dimana?"
Vier kembali menggeleng. "Vier tidak punya orang tua."
Jawaban Vier berhasil membuat Erkan tak bisa menahan rasa kemanusiannya. Dia pun mengajak Vier untuk ke toko pakaian mall. Sebelum itu membeli peralatan mandi di minimarket dan memandikan Vier di toilet mall.
Setelah penampilan Vier rapi, Erkan membawa anak itu untuk makan sepuasnya. Erkan pikir, Vier akan makan banyak, nyatanya anak itu hanya makan sedikit. Kata Vier, dia mual jika terus memaksa makanan masuk. Jadinya, Erkan mengangguk paham.
"Makasih ya abang. Vier tidak pernah merasa sebahagia ini seumur hidup Vier."
Erkan tersenyum maklum, dia merasa tak bisa menjawab ucapan anak manis di depannya ini. Setelah di mandikan dan rapi, Vier terlihat manis. Erkan sudah menduganya.
"Setelah ini Vier mau kemana?"
"Tentu Vier akan mencari makan untuk esok hehe." Vier tersenyum menampilkan gigi rapinya.
Erkan menepuk kepala Vier. "Bagaimana jika Vier ikut abang?"
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Angkat ( Stop )
Roman pour AdolescentsBiasanya sebuah keluarga mengadopsi anak untuk menjadi bungsu. Terkadang juga di jadikan sebagai anak tunggal karena tidak bisa memiliki keturunan. Akan tetapi sebuah novel berjudul 'My Story' menceritakan tentang ketidaksukaan seorang Andra Brawij...