3.

17.3K 1.9K 101
                                    

Erkan telah sampai di Mansion. Saat ini, dirinya tengah berada di ruang keluarga bersama Galendra. Pria tampan tak termakan usia tersebut menyilangkan kaki dan bersedekap dada. Tak bersuara hingga membuat atmosfer di sekitar begitu dingin bagi Erkan.

"Bagaimana perkembangan proyek mu itu?" Setelah sekian lama, akhirnya Galen membuka suara untuk mencairkan suasana.

Erkan terkesiap, dirinya yang mulanya bersandar kini tegap. "Semuanya bagus. Saya menekan bawahan saya untuk tidak melakukan kegagalan kembali." Erkan menjawab kaku. Sungguh, dirinya seperti di hadapkan dengan final bos.

"Mau ayah bantu?"

Erkan menggeleng. "Kegagalan sebelumnya adalah tanggung jawab penuh saya."

Terdengar helaan nafas dari seberang, Erkan menelan ludah gugup dan mengintip Galen was-was. "Mau sampai kapan kamu bersikap formal pada ayah Bian?" ujar Galen menyerukan ketidaksukaan.

"Ah, saya hanya canggung." Erkan menggaruk pipinya yang tak gatal.

Galen mengangkat alis. "Canggung? Apa maksudmu? Setelah beberapa tahun kita bersama?" Memijat pangkal hidung, Galen kembali menghela nafas.

"Saya juga menyesuaikan diri. Tak ingin Andra semakin membenci saya ayah." tentu itu adalah alasan pas untuk menjawab seruan Galen. Lucu juga jika dirinya tipis-tipis mengadu kan? Lagi pula Erkan juga tak suka dengan Andra yang tak sopan.

"Masalah adikmu jangan terlalu di pikirkan. Dia hanya remaja labil Bi. Jika kamu formal pada ayah. Jarak yang kamu buat semakin membuat kita jauh."

"Tentu saja saya harus memikirkan Andra. Justru karena dia masih remaja dan emosinya labil itulah saya tak ingin semakin membuatnya marah." Erkan suka permainan kata ini. Menempatkan Andra di letak kesalahan.

"Ibumu tak akan suka Bian."

"Ibu akan mendukung penuh Andra. Apalagi saya hanyalah anak angkat. Saya harus tau diri untuk tidak selalu bergantung pada keluarga Brawijaya." Galen menautkan alis tak suka akan penuturan Erkan, sepertinya?

"Ibumu tak pernah menganggap kamu anak angkat Bian Tirta. Dia menganggap mu sebagai anak kandungnya. Jangan berpikiran omong kosong, ayah tidak suka!" Suara Galen naik satu oktaf. Bahkan raut wajahnya terlihat mengeras.

Tentu nyali Erkan menciut seketika. "Sa-saya hanya menyesuaikan diri Ayah."

Brak!

"Berhenti berbicara formal Bian! Kau tidak dengar ayah berkata barusan!" Galen menggebrak meja. Dia berdiri karena emosi meluap. Meraup wajah kasar dan memalingkan wajah.

Erkan tetap di tempat, meski dia takut bukan main. Erkan harus tetap menjaga image. Walaupun kakinya bergetar ingin segera pergi dari hadapan Galen.

"Kembali ke kamarmu. Sebagai hukuman, kamu tidak boleh beranjak seinci pun dari mansion, " Titah Galen. "Jika kamu berani melawan atau membantah. Ayah tidak akan segan-segan meledakkan perusahaan milikmu!" ancamnya ketika sang putra akan menjawab.

Erkan segera berdiri dan ngacir pergi ke kamarnya. Galen terlihat menyeramkan. Sama seperti hantu atau setan di film horor yang di tonton olehnya.

Sesampainya di lantai atas, tanpa Erkan sadari jika dia menubruk seseorang sampai tubuhnya oleng. Beruntung orang itu segera menangkapnya agar tak bersentuhan dengan lantai.

"Kau terlihat buru-buru Bian, kenapa?" Javier menatap tajam Bian. Melepaskan tanganya pada lengan Erkan, Javier menuntut jawaban. Jika saja tidak ada dirinya, apa yang akan terjadi pada keponakannya itu.

Sungguh ceroboh.

"Err.. Saya mau ke kamar. Maaf karena sudah menabrak anda." Erkan membungkuk tak nyaman. Karena takut, dia berlari hingga menabrak Javier.

Anak Angkat ( Stop ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang