6.

15.4K 1.7K 48
                                    




"Andra mau kemana kamu?" Galen berdiri, berjalan cepat untuk mencegah putranya pergi.

Erkan sudah pergi sejak tadi. Anak itu sadar diri untuk tidak ikut campur dalam masalah keluarga begitu dalam. Dia hanyalah orang asing yang singgah di dalam tubuh seorang Bian. Menurutnya sangat tak nyaman. Erkan jarang melihat orang sekitarnya terlibat cekcok.

Andra melangkahkan kaki lebar ketika kalah argumen dari ayahnya. Air mata sudah turun membasahi pipi. Dia menghapus kasar dengan lengan. Menepis tangan sang ayah yang total gagal karena kalah dalam kekuatan.

"Bela terus anak angkat itu yah. Dari dulu, ayah selalu membelanya. Ibu pun sama. Lihat, ibu sekarang sudah tidak ada!" serunya. Dia menatap langsung ke manik kelam sang ayah.

Galen hanya menghela nafas. Dia memegang kedua pundak Andra. "Ayah tidak membelanya Andra. Kamu berlebihan. Sampai kapan kamu menolak kehadiran Bian di hidup kamu."

"Sampai kapanpun, aku tidak akan menerimanya ayah! Tak akan pernah!" Kalimat itu terdengar mutlak di telinga Galen.

Pria dewasa itu menghela nafas. "Ibumu akan kecewa padamu."

"Tapi aku lebih dulu kecewa pada ibu!" Andra menjawab. Jawaban itu terdengar kurang ajar bagi Galen. Menahan emosi agar tak main tangan terhadap sang putra.

"Memangnya, ibumu salah apa hingga membuatmu kecewa! Ibumu itu selalu menyayangi mu sepenuh hati. Lalu apa yang membuatmu kecewa pada orang yang tulus menyayangi mu Andra!" Suara Galen naik. Sekuat tenaga Galen menahan emosi. Karena nyatanya Galen tak sesabar itu ketika berurusan dengan mendiang istrinya.

Teriakan itu mengundang Gerald dan Naya datang. "Ada apa ini Galen?" Tanya Naya mendekat. "Mau kemana kamu malam-malam begini Andra, " Lanjutnya menatap penampilan Andra dari atas sampai bawah.

Andra mengabaikan ucapan Naya dan malah memandang tajam ayahnya. "Salah ibu karena dia mengangkat anak pembawa sial seperti dia!" 'Dia' maksud Andra adalah merujuk pada Bian.

Plak!

"Pembawa sial yang kamu maksud adalah pembawa keberuntungan untuk ibu kamu! Kamu tidak akan tau betapa bahagia ibumu memiliki kamu setelah dia mengangkat Bian menjadi putranya!" Naya tentu tidak terima. Sebagai ibu, Naya merasa sakit hati.

Meski Andra adalah cucunya sendiri, Naya tidak mentoleransi. Naya masih ingat betapa putrinya menginginkan anak. Namun harus di kubur dalam-dalam keinginan itu karena kanker rahim.

Semenjak putrinya mengangkat Bian Tirta sebagai putra, banyak kejadian seperti kanker rahim putrinya sembuh, lalu di kejutkan dengan kehamilan yang selalu di tunggu-tunggu. Naya menjadi saksi, betapa bahagia putrinya saat itu. Berterima kasih dan bersyukur karena keberadaan Bian dan segala keberuntungan yang telah terlewati.

Lalu dengan kurang ajarnya, anak yang diidamkan malah menyalahkan ibunya karena telah mengangkat anak pembawa sial seperti ucapannya.

Jika putrinya masih hidup, betapa kecewa dia.

"Tapi ibu jauh lebih menyayangi dia dari pada aku yang notabene nya putranya sendiri nenek!" merasa tak jera karena tamparan Naya, Andra menjawab ucapan neneknya. Hatinya sakit, cekcok biasa berujung argumen besar hanya karena 'Anak Angkat' seperti Bian.

Neneknya bahkan sanggup mengangkat tangan dan menampar dirinya. Pipinya tak sakit jika di bandingkan dengan hatinya. "Hiks.. Kalian semua seperti ini karena dia. Aku benci dia. Aku benci Bian! Aku benci keberadaan dia!!" teriaknya lalu berlari ke luar menghiraukan panggilan Galen dan Gerald.

Galen menghela nafas kasar. Beranjak ke sofa dan duduk pasrah disana. Harus dia apakan putra keduanya itu. Sejak dulu, sang putra tak pernah mau menerima keberadaan kakaknya. Menganggap putra sulungnya sebagai orang gagal dan pembawa sial.

Tidakkah putranya tau jika 'pembawa sial' yang du sebut merupakan kebahagiaan bagi keluarga kecilnya.

"Andra hanya perlu terbiasa." Naura ber celetuk dan duduk di sebelah sang suami, Javier.

"Mau sampai kapan? Setelah belasan tahun terlewati, sikapnya tetap seperti ini." Ain menyahut, wanita itu duduk bersama putri sulungnya, Aluna.

Mereka semua berkumpul di ruang keluarga.

Naura pun menggeleng. "Entahlah."

"Lebih baik Bian di rumahku saja, " usul Ain. "Jangan menatapku seperti itu. Maksudnya, untuk beberapa hari atau minggu bahkan bulan, biarkan Bian tinggal bersama ku. Kita bisa melihat reaksi Andra nantinya." Ain melanjutkan ucapannya ketika tatapan tajam kakaknya menembus dirinya.

Galen terlihat enggan. "Tidak." Dia tak rela berada jauh dari putranya. Meski Bian sudah dewasa, tetapi bagi Galen, Bian tetap anak kecil yang dulunya begitu manja padanya. Lagipun, Bian merupakan yang pertama kali istrinya titipkan baru setelahnya Andra.

Ain menghela nafas. "Hanya sementa-"

"Sekali tidak ya tidak!" Galen menyudahi omong kosong Ain dengan berdiri dan pergi dari sana sebelum keluarga yang lain menyanggah. Urusan putranya adalah tanggung jawabnya, jadi kedepannya dia yang akan mengurus semuanya.

**

Erkan berdiri di bawah shower, dahinya bertumpu pada tembok merenungi nasibnya. Kernyitan di dahi tanda bahwa Erkan sedikit setres. Jika saja dia bisa bekerja di kantornya, Erkan tak akan sesetres ini. Namun Erkan tak ingin menambah resiko keluarga ini akan menghancurkan kantor tempat perjuangan Bian Tirta.

"Huft, kemana aja si Bian ini. Tidaklah dia tau bahwa aku sudah setres menjadi dirinya." Mematikan Shower, Erkan mendongak menyapu rambut basahnya.

Wajah yang terlihat segar serta tubuh telanjang bulat, Erkan terlihat sexy. Meski tubuhnya tak sebesar pria di keluarga ini, tetapi tubuh Bian merupakan tubuh normal bagi pria se umumnya.

Emang keturunan Brawijaya aja yang macam tiang listrik.

"Baru beberapa hari. Padahal awalnya, aku kira akan terbiasa, tetapi ini jauh dari perkiraan." Erkan melangkah untuk menggapai handuk. Melilitkannya pada pinggang ramping milik Bian. Pinggang yang pas untuk di peluk ini sangat menggoda iman.

Kemudian beranjak keluar, Erkan pikir sudah bersih. Agak ngeri juga karena harus mandi malam-malam. Biarlah, sekalian kan. Keluarga ini pun meski malam sangat aktif, Erkan heran.. Tidakkah mereka ingin langsung tidur setelah seharian beraktivitas?

Jika itu Erkan yang dulu, Erkan memanfaatkan waktu kosongnya dengan tidur. Apa itu jalan-jalan?

"Mandi malam?"

"Akh BANGSAT ANJING!"

Erkan terlonjak kaget ketika Hans muncul di hadapannya dengan wajah tengil. Pria itu menerpa wajah terkejut Erkan menggunakan hembusan asap nikotin.

"Sedang apa kau disini Hans!" seru Erkan mengibas-ngibaskan tangan menghalau asap.

"Yah, melihat kondisimu." Hans menjawab sembari terkekeh pelan, merasa lucu akan reaksi Erkan.

Erkan mendengus, dia berjalan melewati Hans untuk mencari baju ganti.

Kehadiran Hans sudah seperti jailangkung, datang tak di undang pergi pun tak bilang-bilang.

"Lebih baik kamu pergi Hans, kau menggangguku disini."

"Aku suka disini."

"Kata-kata mu ambigu sialan."

Hans tertawa keras. "Hoo,sepertinya sekarang kamu suka sekali mengumpat ya."



TBC.

Anak Angkat ( Stop ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang