Tidak semua orang jepang menjadikan sushi sebagai makanan favorit mereka. Contohnya Kuroii Nakara yang sedang ngemil cokelat di pinggir lapangan sambil menunggu yang lain datang. Saking menikmati camilannya, lelaki tujuh belas tahun itu tidak sadar ada yang ngiler di sebelahnya.
Benar, Yoru Schaefer mengamati Nakara yang sedang nikmat sendiri sambil menahan rasa ingin merebut cokelat yang tengah disantap Nakara. Apalagi cara Nakara makan cokelat adalah dengan mematahkannya, bukan menggigitnya, membuat cokelat itu tetap higienis dari ciuman tidak langsung.
Saat Nakara menoleh, Yoru pura-pura cuek. Entah bersiul-siul tidak jelas atau pura-pura membersihkan sepatu. Ya, walau berlagak cuek, gelagat lelaki berambut biru tua itu dapat dibaca jelas oleh Nakara sehingga pemuda Jepang itu mengulurkan cokelatnya sambil tersenyum.
"Kau mau?"
Saat Nakara menyodorkan cokelat, saat itulah pemuda setengah Jerman yang dianggap cool oleh orang yang belum kenal ini menyunggingkan cengiran lebar. Tanpa ragu, ia memotong cokelat itu lebih dari separuh. "Terima kasih, Nakara." Yoru memasukkan bongkahan besar itu ke mulutnya.
Nakara tidak menjawab apa-apa. Lelaki yang bermain sebagai fullback itu tetap tersenyum walaupun sebagian besar cokelatnya dirampok oleh Yoru. Tahu begini, aku tidak menawari si rakus ini.
Maklum, Yoru memang suka makanan manis. Bila ada manisan, dia paling tidak bisa menolak.
Tak lama kemudian, datang dua lagi anak Jepang dengan mengenakan seragam latihan merah hitam tim, rapi dan wangi, sebab mereka mandi dahulu sebelum menuju lapangan ini.
"Kalian sudah lama?" sapa Sora dengan ramah. Pemuda berambut aquamarine itu meletakkan tasnya di bangku sebelum ikut duduk.
"Baru lima menit," jawab Nakara. "Bagaimana kelasmu tadi, Bunda (Okaa-san)?"
"Aish, kau ini sudah kubilangi berapa kali?" Sora menoyor lengan Nakara yang mengaduh dan terkekeh. "Jangan panggil aku 'Bunda'! Nanti anak-anak baru itu ikut-ikutan."
"Tapi cocok, loh," tukas pemuda berambut putih dengan garis hijau yang datang bersama Sora, sambil cuek. Eita namanya. Lelaki itu jelas berkomentar asal-asalan sebab ia tengah fokus ke ponsel yang sedang digenggamnya dengan wajah datar. "Bunda kan yang paling peduli sama semua. Bunda juga suka memasak dan pandai urusan rumah tangga lainnya."
"Aduh, aduh, sakit! Lepas!"
Walaupun lebih tinggi, Eita mendapat jeweran telinga penuh kasih sayang dari Sora. "Kau ini bukannya meredam suasana, malah seenaknya bilang begitu."
"Iya, ampun, Sora-san," pinta Eita.
Lelaki 180 cm itu mengelus telinganya yang panas. "Untung tidak putus. Kalau putus, bisa habis Sora-san digeruduk fangirls-ku."
"Kamu bisa menyerang dengan pasukan fangirls, tapi aku akan membalas dengan pasukan kodok," tukas Sora langsung menyebut kelemahan Eita.
"Hei, jangan begitu, lah, Sora-san." Eita yang dikenal cool pun jatuh pula harga dirinya kalau sudah masuk lingkup anak-anak tim.
Di sini, siapa yang tidak dinistakan?
[Mizukaze Kazeki Sora]
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Bola Membawa Cinta
Teen FictionTim sepak bola SMA Peter Champion punya cerita. Walau tak sehebat David Bekam ataupun Ronaldikin, jangan pudarkan mimpi mereka menjadi legenda!