Rabu sore sepulang sekolah, mentari sudah rendah, teriknya tidak terlalu parah. Bukannya langsung pulang, Arva justru mengayuh sepeda ke arah tenggara. Bukan, dia tidak sedang menuju Blackpool Pleasure Beach untuk naik roller coaster sendiri. Taman hiburan itu pasti tutup sebentar lagi.
Setelah mengayuh sepanjang sekitar tiga kilometer, sepedanya berbelok masuk ke area parkir bangunan besar yang dicat oranye dan putih. Arva berhenti dan mendongak, memandangi megahnya bangunan tersebut dari luar, sebelum melihat pemandangan dari dalam nanti.
Pemuda hitam memarkir sepeda, tak lupa mengunci rodanya. Barulah ia masuk di bangunan besar nan sepi tersebut.
Benar, itu adalah Stadion Bloomfield Road, stadion milik tim sepak bola kota Blackpool yang akan menjadi lokasi pertandingan kedua Arva dan rekan-rekannya. Di tempat itu, hanya ada petugas keamanan dan pegawai kebersihan. Hari ini tidak ada pertandingan, stadion dibuka bagi siapa pun melakukan tur pribadi.
Tibalah Arva memasuki lapangan utama seperti pemain yang akan bertanding. Tampak di matanya, tribun yang terbentang dari selatan ke utara. Jingga cerah menjadi warna utama, warna identitas Blackpool FC, tuan rumah stadion besar ini.
Di tribun selatan, ada pola tempat duduk putih yang membentuk tulisan B.F.C., inisial dari tim pemilik stadion ini. Adapun saat menoleh ke kanan, pola bangkunya bertuliskan "Armfield". Sedikit yang Arva tahu, itu adalah nama pemain legendaris Blackpool FC. yang telah bermain di kancah profesional jauh sebelum Arva lahir.
Stadion yang telah berdiri selama lebih dari seratus tahun ini menjadi saksi berbagai macam peristiwa dalam sejarah. Entah peristiwa suka, maupun yang mencairkan air mata.
Arva berjalan. Sekeliling lapangan, yang Arva temui hanyalah kesepian. Bangku-bangku tribun yang jumlahnya lebih dari 16.000 itu tak ada yang menempati, kecuali satu bangku di mana Arva melihat sosok yang familiar.
"Rafo!"
Pemuda yang dipanggil mendongak dari ponselnya. Hanya sedetik, sebab selanjutnya, ia kembali kepada gawai yang sedang dalam mode vertikal itu. Tampaknya, Rafo masih asyik-asyiknya bermain gim di ponsel Cina miliknya
Seru amat, kayaknya.
Arva naik ke tribun, menghampiri rekannya yang dari Indonesia tersebut. "Main apa? Kelihatannya seru sekali."
"Genshin," jawab Rafo tanpa menoleh kepada pemuda hitam yang duduk di sampingnya, tetap fokus pada kegiatan karakter Navia-nya farming di Spiral Abyss.
"Mau bermain gim saja, kau mampir di stadion besar ini," celetuk Arva seraya menyandarkan punggungnya ke kursi yang ia duduki di samping Rafo.
Rafo menjawab tanpa menoleh, "Tadi jalan-jalan ke stadion. Lupa belum daily commission."
"Ah, kamu ini, niat jalan-jalan ke stadion, malah jadi main HP. Tidak jadi jalan-jalan, dong."
"Tanggung. Kalau di rumah nanti tidak ada waktu." Bohong. Padahal Rafo kalau di rumah main gim melulu. Tak hanya Genshin, tapi setiap game gacha, mulai dari Arknights hingga Blue Archive.
Tidak, kau tidak disebut peod sebab bermain Blue Archive bila usiamu masih dibawah delapan belas tahun.
Setidaknya, ponsel Rafo tidak menyimpan NIKKE. Ya, yang tahu biar tahu. Yang tidak tahu, sebaiknya tidak perlu mencari tahu.
Sejatinya, Arva sama sekali tak mengerti gim-gim yang Rafo mainkan. Buat Arva, gim bola lebih menarik daripada gim gacha seperti itu walau banyak waifu cantiknya.
Perhatian Arva beralih ke langit yang semakin gelap. Dari dalam stadion, matahari terbenam memang tidak sejelas bila diamati dari pantai di bagian barat kota. Akan tetapi, mega jingga di ufuk terlihat di atas tribun barat yang juga berwarna jingga menjadi pemandangan yang begitu memukau di netra kelabu Arva.
Sekali lagi, Arva memandang hamparan lapangan yang dikelilingi tribun jingga di hadapannya. Ia membayangkan bagaimana bila stadion seperti ini penuh penonton tengah menyemangati dirinya yang menjadi bintang lapangan suatu hari nanti.
Memang, Arva selalu bermimpi menjadi pemain top, bahkan legenda sepak bola. Permainan ini sudah menjadi passion-nya sejak masih di Prancis dulu. Ia ingat euforia saat negara kelahirannya itu berhasil menjuarai piala dunia beberapa tahun lalu. Arva sangat ingin meraih prestasi yang sama saat menjadi pemain timnas di masa depan.
"Rafo, membayangkan mengangkat trofi di stadion seperti ini ...."
Rafo yang telah menyelesaikan Spiral Abyss menoleh saat Arva mengucapkan kalimat yang terputus itu.
Arva pun menghadapkan wajahnya kepada Rafo sebelum melanjutkan kata-katanya. "Aku sangat memimpikan momen itu di masa depan." Senyum yang diisi harapan tercetak di wajah Arva, menampilkan barisan gigi putihnya.
Di sisi lain, ekspresi yang ditunjukkan Rafo justru kontras dengan cerahnya wajah hitam Arva. Jika dibahas mengenai mimpi dan sepak bola, pemuda asal Indonesia itu teringat alasan dia menjajakan kaki di lapangan hijau, sebuah alasan yang mengiris hati.
Sayangnya, belum sempat Arva menyadari kesedihan di balik mata hijau Rafo, pemuda hitam beranjak dahulu. "Aku harus segera pulang. Bisa-bisa, aku ketinggalan magrib. Aku duluan ya, Rafo," salam Arva yang langsung berlalu.
Kini berganti Rafo yang mengamati lapangan hijau di stadion ini. Lampu pinggiran mulai dinyalakan, tetapi dadanya terenyuh sebab teringat lagi apa yang menjadikan dia mau bermain bola.
Sekelebat wajah manis seseorang yang masih kerabat bagi Rafo tergambar di pikirannya. Teringat pula kata-kata yang menjadi awalan semua ini.
"Ayo bertaruh! Kalau kau kalah, kau harus main bola."
"Aku tidak pernah kalah 50:50. Mengapa kamu berani taruhan melawanku? Mengapa pula kau mau aku main bola jika kalah?"
Rafo memejamkan mata. Kendati tak lagi bisa melihat sekitar, gambaran wajah sepupunya yang dulu selalu berseri-seri, yang seakan-akan tak pernah ada masalah, tampak jelas bagi Rafo. Tetesan bening mulai terkumpul di pelupuk matanya. Tak ada yang melihat lelaki itu melara selain bangku-bangku tribun dan rumput stadion.
"Terima kasih, Qiqi. Berkatmu, aku kini melaksanakan permintaan terakhir Nia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Bola Membawa Cinta
Teen FictionTim sepak bola SMA Peter Champion punya cerita. Walau tak sehebat David Bekam ataupun Ronaldikin, jangan pudarkan mimpi mereka menjadi legenda!