Sore itu pada pukul empat lebih, anak-anak melaksanakan latihan terakhir sebelum menjalani laga kedua Sabtu ini. Mereka harus mempersiapkan diri dengan baik karena lawan yang akan mereka hadapi kabarnya merupakan tim yang kuat, telah melibas lawan 4-0 di pertandingan pertama.
Saat ini, Regulus termasuk dalam kelompok bertahan dalam latihan tendangan bebas, mengenakan rompi keramat bersama rekan-rekan sekelompok.
Untungnya, rompi-rompi itu sudah dicuci.
Mari berterima kasih kepada Charlie yang ngotot protes akan bau rompi-rompi itu.
"Siapa yang menjadi pagar betis?" pemuda yang menjuluki dirinya sendiri si Singa Kecil bertanya.
Eita berceletuk menjawab Regulus, "Kan ada Miya."
"HEH, JAGA-JAGA KALAU BICARA, KAU MENYINDIR TUBUHKU YANG PENDEK, YA?"
Yukihiro harus memegangi rekannya yang pendek dan berambut ungu tersebut. Kalau tidak, sepatu Miya pasti sudah terlempar ke kepala Eita, lengkap bersama kakinya.
"Sudah, Miya! Jangan dipikirkan!" bujuk Yukihiro.
Sementara itu, Eita yang telah mengatakan sesuatu yang melukai hati Miya (eaa) hanya cuek sambil mengupil.
"Kau juga, sih, Eita. Lagipula, kalau Miya jadi pagar betis, mana mungkin dia bisa menangkis bola tinggi?" timpal Yoru.
"Mudah saja." Yezekael Archer yang datang entah dari mana berjalan dengan santainya, padahal menyimpan rencana jahat dibalik lengan bajunya.
Baru saja Miya ditenangkan oleh Yukihiro, si rambut ungu harus mendapat ujian kesabaran lagi. Dari belakang tubuh kecil Miya, Yezekael mengangkatnya tinggi-tinggi seperti balita seraya berteriak, "UPSY DAISY!"
"CAVOLO! SEI UN STR*NZO! MANGIA MER*E E MORTE!"
(Terjemahan: Sialan! Dasar kau anj*ng! Makan t*i kau mampus!)
Kejar-kejaran pun tak dapat dielakkan. Kendati begitu, Yezekael yang dikejar secara brutal hanya cengengesan, tak mengerti sumpah serapah yang dibentakkan Miya.
Yukihiro hanya bisa geleng-geleng. "Yah, setidaknya mereka jadi latihan kecepatan dan stamina."
Regulus yang melongo karena pertanyaannya tak terjawab mengangkat tangan. "Anu, jadi bagaimana?"
"Pemain depan yang menjadi pagar betis sedangkan bek menjaga para pelari," putus Yukihiro. "Kita punya Arva, Rio-san, Rielle-san, Michaelis-san, ditambah kau dan aku. Eita juga," sambungnya sambil melirik pemuda yang baru beres mengupil tersebut.
Regulus mengangguk. "Kurasa itu ide yang bagus."
Pemain yang disebutkan oleh Yukihiro berbaris untuk menghadang tendangan bebas yang akan dilakukan Enzo. Tidak lupa, area vital harus dilindungi agar tendangan keras yang nyasar tidak mengenai masa depan atau alat vital lainnya.
Enzo menaruh bola dari jarak 30 meter dan mundur beberapa langkah. Rekan-rekan yang lain pun mencari posisi di kotak penalti, beradu dengan anak-anak yang memakai rompi.
Enzo mengambil langkah maju dan menendang bola, melesat dengan keras. Bola pun melambung lebih tinggi dari lompatan pagar penjaga sebelum melengkung turun di pojok gawang dengan kecepatan yang konstan.
Saat bola menyerang gawang, Rafo yang bertindak sebagai kiper malah bengong seperti melamunkan sesuatu. Ada hal yang tengah dipikirkan pemuda Indonesia itu sehingga tidak berkonsentrasi pada menjaga gawang.
"Rafo," panggil Yukihiro. "Mengapa kamu diam saja? Kamu melamun, ya? Ayo fokus!" Itu bukan bentakan marah, melainkan nada tinggi memotivasi. "Ayo, semangat! Jangan melamun! Yang lain juga, semangat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Bola Membawa Cinta
Teen FictionTim sepak bola SMA Peter Champion punya cerita. Walau tak sehebat David Bekam ataupun Ronaldikin, jangan pudarkan mimpi mereka menjadi legenda!