Selama seminggu, hubungan antara Aksa dan Ara semakin membaik. Mereka berdua menikmati momen-momen bersama, mengatasi setiap ketegangan dan masalah dengan dukungan satu sama lain.
Sementara itu, Vera tengah sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Henry, yang rencananya akan diadakan dalam waktu satu bulan. Vera sebelumnya telah berjanji pada Ara bahwa pernikahannya dengan Henry akan dilakukan setelah Ara melahirkan bayinya. Ara merasa senang dan bahagia mendengar kabar baik tersebut, namun di sisi lain, ketegangan melanda karena hari persalinan semakin dekat.
Selama masa akhir kehamilan, Ara merasa cukup baik. Dukungan hangat dari Aksa, yang selalu setia berada di sisinya di rumah, menjadi kekuatan utama bagi mereka berdua.
Hari ini, mereka memilih menikmati momen tenang di taman belakang rumah, di bawah sinar matahari yang cerah dan menyegarkan.
Duduk di kursi taman yang nyaman, Ara meletakkan kaki bengkaknya di pangkuan Aksa. Pemandangan pepohonan yang berayun lembut dan aroma bunga yang terbawa angin memberikan sentuhan kedamaian pada momen mereka. Aksa, dengan penuh kelembutan, memulai pijatan di kaki Ara yang lelah.
"Bagaimana? Apakah sudah lebih baik?" tanya Aksa seraya melanjutkan pijatan lembutnya di kaki Ara, sentuhan tangannya memberikan kelegaan pada kaki yang lelah.
Ara, sambil menggerakkan kakinya untuk merasakan efek pijatan, menjawab, "Lumayan membaik. Pijatanmu membuatku merasa lebih ringan."
Aksa tersenyum puas, "Baguslah. Bagaimana dengan mualmu? Apakah semakin mereda?"
"Sudah tidak terlalu sering," jawab Ara sambil mengelus perutnya yang membesar perlahan. "Tapi, jika kau pergi, bayi di dalam perutku sepertinya merasa bosan dan mulai mengacak-acak perutku."
Aksa tertawa, "Jadi kau menyalahkan bayinya atas keadaan perutmu yang berantakan?"
"Bukan begitu," sahut Ara sambil tersenyum. "Mungkin dia hanya ingin tahu apa yang kau lakukan." Mendengar itu, Aksa terkekeh geli.
Suasana hening mereka hanya terisi dengan gemericik air dan angin sepoi-sepoi. Kemudian, Aksa memutus keheningan dengan pertanyaan yang seakan memecah keheningan keabadian itu, "Jadi, apakah sekarang kau sudah memaafkanku?"
Ara meresapi pertanyaan itu, tampak bingung bagaimana seharusnya menjawabnya. Melihat ekspresi wajah Ara, kilau cahaya terlihat sedikit redup di wajah Aksa. "Tidak masalah jika kau belum bisa menjawabnya."
Namun, Ara akhirnya memberikan jawabannya dengan lembut, "Aku akan memaafkanmu dengan satu syarat." Ia memainkan jemarinya dengan anggun, menambah kesan serius dalam suasana.
Wajah Aksa langsung menyinari, merasa diberi kesempatan yang berharga. "Apa syaratnya?"
"Saat aku melahirkan nanti, kau harus di sana, tidak boleh terlambat sedetik pun. Dan yang lebih penting, kau tidak boleh menikah dengan wanita lain karena kau harus menjadi ayah bagi bayiku."
Aksa tersenyum lebar dan tertawa kecil, "Bukankah itu terdengar seperti dua syarat?"
Ara menggeleng ringan, "Aku tidak peduli, karena itu sepadan dengan apa yang kau lakukan di masa lalu."
"Baiklah, aku mengerti," kata Aksa dengan tulus.
Jeda sejenak, kemudian Ara menambahkan, "Jika kau merasa keberatan, tidak masalah. Aku bisa mencari ayah baru bagi bayiku."
Aksa cepat menjawab, "Hei hei, bukankah aku adalah ayahnya?"
"Kau masih mempertanyakannya?"
"Bukan begitu. Baiklah, aku mengalah. Aku akan melakukan semua syaratmu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence [END]
Romance[A ROMANCE STORY] "A-aku ke sini ingin memberitahumu jika saat ini aku sedang hamil. Dan sekarang kita akan memiliki anak seperti impianmu dulu. Kau pasti bahagia bukan?" "Kau yakin itu anakku?" "Maksudmu?" "Waahhh, hubungan kalian sudah sejauh itu...