Anniversary, 6.

101 5 0
                                    

Kaki kananku perlahan menginjak-injak aspal. Aku menatap arloji yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kananku. Dengan raut wajah khawatir, aku mengalihkan pandangan ke arah jalanan yang nampak sedikit ramai namun tetap teratur. Saat ini, kendaraan yang tengah aku tunggu belum lekas datang. Sudah hampir lewat 15 menit sejak aku menunggu kedatangannya.

25 menit berlalu, akhirnya aku bisa bernafas lega. Taksi berwarna putih khas milik kota Argheta berhenti tepat di depan rumahku.

Aku hanya berdiri mematung seraya melipat kedua tanganku di depan dada. Fokus menatap supir dan wanita yang aku tunggu—Hazel menurunkan koper beserta barang-barang bawaannya.

Aku dan sang supir sempat bertegur sapa dan melempar senyuman. Kelihatannya masih muda dan umurnya tidak jauh dengan salah satu klienku—John, 40 tahunan mungkin?

Setelah selesai, lantas Hazel mengulas senyum terbaiknya sembari mengucapkan terima kasih kepada sang bapak. Tak lama, taksi putih itu berlalu pergi membelah jalanan di depan rumahku.

Netraku kembali menatap Hazel yang berdiri di sebrang sana. Dengan antusias dia berjalan menghampiri ku sembari menarik koper yang cukup besar di tangannya. Wajahnya menahan senyuman bahagia saat menatap ke arahku, aku membalas senyuman itu seraya sedikit menggelengkan kepala.

Sebelum benar-benar sampai di hadapanku, aku mengangkat tangan kanan dan menunjuk ke arah arloji di tanganku. Pertanda dia sudah sangat terlambat dari janjinya.

Dia terkekeh geli setelah melihat gesturku,
Sorry I'm late... And, I'm back!

”Gak sekalian kamu berkeluarga di Bandara bersama bapak tadi?” Jawabku sedikit menyindir keterlambatannya.

Dia lantas segera menggelengkan kepala dan mengalungkan kedua lengannya di leherku. Hembusan nafas hangat miliknya menerpa ceruk leher. Nyaman. Meskipun tiba-tiba, aku segera membalas lingkaran tangan di tubuhnya. Kami berpelukan cukup lama.

Tak lama, aku merasakan Hazel mulai mengecup leherku dengan lembut, lalu membisikkan kalimat, ”I miss you...” membuat rasa kesal ku perlahan menghilang dan hatiku menghangat seketika.

I do more.” aku mempererat dekapannya.

15 detik yang mengharukan. Perlahan dia melonggarkan dekapan itu lalu menatapku,

Happy sixth year anniversary, Adinata Rakael. I love you and always be.”

Tanpa disadari, aku tersenyum sangat manis kala itu. Apalagi Hazel repot-repot membawakan ku sebuah buket bunga kecil berisikan enam tangkai mawar putih yang sangat cantik dan wangi. Kata terima kasih sepertinya kurang untuk mengganti buket dan pelukan hangat yang dia berikan sore ini.

”Saya yang seharusnya memberi kamu bunga, bukannya ini terbalik?”

“Hmm... Benar juga. Tapi kayaknya bunga mawar gak akan tumbuh di air garam,” kalimat yang cukup bagus untuk meledekku.

”Ini aku sendiri yang tanam, jadi bukan sembarangan bunga.” sambungnya lagi.

Aku menahan senyum mendengar itu. Setelah puas memandangi dan mencium buket bunga pemberian Hazel, aku kembali meletakkannya di atas koper. Aku merangkul mesra pinggang ramping miliknya dengan lengan kiri ku, lalu mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah. Tak lupa tangan kananku sibuk menarik koper besar Hazel.

“Cuma aku yang siapin hadiah ya? Hadiahku mana, Bli?” Tanya Hazel tiba-tiba.

“Ada surprise di halaman belakang. Tapi kamu harus pakai dulu dress yang ada di kamar, baru ikut menyusul pergi ke belakang.”

shintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang