Satu hari setelah menyelam di teluk Argheta, cuaca berubah drastis. Mendung menyelimuti langit, lalu hujan deras mengguyur Argheta, mengingatkan kami akan kekuatan alam yang tak terduga. Meski hujan mengguyur, aku bersyukur bahwa tidak ada kilat yang menyertai. Suasana hati pengunjung tetap ceria, hujan deras tetapi sejuk ini begitu memanjakan.
Aku dan Kadek telah merencanakan aktivitas seru untuk hari ketiga—berlayar menyusuri pantai dan mengunjungi pulau-pulau kecil yang tersembunyi. Namun, dengan cuaca seperti ini, kami terpaksa membatalkannya. Meskipun sedikit kecewa, kami berusaha untuk tetap positif.
Di tengah rintik hujan, aku melihat pengunjung lainnya yang tetap bersemangat. Banyak yang memanfaatkan waktu ini untuk berkumpul dengan keluarga, berbagi cerita di dalam kafe yang hangat, atau berkeliling resort dengan payung di tangan. Mereka menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti secangkir kopi hangat atau permainan papan yang mengundang tawa.
Malamnya, aku memutuskan untuk tidak menata kembali jadwal kami. Jadi, satu kegiatan sebelumnya akan ditiadakan saja dan langsung berganti ke hari esoknya.
Hari berganti, sedari siang Kadek sudah menyiapkan beberapa perlengkapan dan aku menyiapkan bahan-bahan untuk acara memanggang nanti malam.
Aku kira semuanya akan mudah mengingat kami sering melakukannya, tetapi karena ini masuk ke dalam pelayanan, aku merasa hampir kewalahan padahal baru saja memilih daging.
Ditemani oleh Rhea, dia mengajarkanku bagaimana cara memilih daging sapi segar dengan kualitas baik hingga akhirnya kami sepakat membeli beberapa kilo daging sapi dari pedagang pasar dan ikan dari nelayan terdekat.
"Saya masih bingung apa bedanya daging ini dan yang tadi," tanyaku saat kami mulai meletakan barang belanjaan di kap mobil.
"Waduh Bli, kalau dijelasin semuanya bisa habis seharian di sini," balasnya sambil tertawa ke arahku. Entah dia bersungguh-sungguh atau hanya bergurau.
"Tapi aku akan kasih tips basicnya, cukup dilihat dari warna, tekstur dan juga lemaknya. Atau mau tips yang lebih baik lagi? Sering-sering ada di kitchen, apalagi punya dapur selengkap di resort."
Aku menganggukkan kepala setuju.
"Gak perlu buru-buru Bli, ini baru setahun sejak Bli urus resort, semuanya memang perlu waktu, begitupun memasak."
Aku tersenyum mendengarnya, aku bertanya-tanya apa mungkin gerak-gerik saat aku memilih daging dan berbicara sekarang terlihat seperti bodoh dan cemas? Maka dari itu Rhea repot-repot mengatakannya.
Setelah selesai berbelanja, aku dan Rhea kembali ke resort untuk mempersiapkan pesta memanggang yang sudah kami rencanakan. Suasana di sekitar kami begitu cerah setelah hujan. Semua orang sudah berkumpul, termasuk Hazel, teman wanita yang baru saja aku kenal beberapa hari lalu. Atau harus aku panggil, idolanya Kadek?
Kadek menyarankan agar aku mencoba memasak beberapa hidangan pembuka sementara dia dan Rhea sibuk menyiapkan panggangan. Sejujurnya aku tahu saja itu modusnya agar bisa mengobrol dengan idola dan istrinya di saat yang bersamaan karena keduanya tengah memanggang.
Saat pesta memanggang dimulai, aku mulai merasakan kehangatan dari api unggun dan aroma daging yang terbakar, orang-orang bercengkrama dengan baik, namun sesuatu terasa sedikit aneh. Mungkin itu karena angin dingin yang terus bertiup, atau mungkin karena aku terlalu banyak meneguk alkohol yang disediakan malam itu.
Entah kenapa malam ini aku minum, padahal aku tidak pernah minum sebelumnya. Bodoh sekali karena termakan rasa penasaranku akan rasa dari minuman ini.
Kadek dan para tamu tampak menikmati suasana, tetapi aku merasa tubuhku semakin berat, mata mulai berkunang-kunang, dan tertawa mereka terdengar semakin jauh.
Aku berusaha untuk tetap tegak, namun beberapa saat kemudian aku merasa pusing dan mual. Aku berusaha keluar dari kerumunan setelah menyimpan gelas di atas meja.
Sebelum aku bisa berkata apa-apa, Hazel muncul di sampingku. "Kamu kelihatan nggak enak," katanya dengan suara lembut, lalu tanpa banyak bicara, dia menggandengku dan membantuku menjauh dari kerumunan.
Di luar keramaian, aku duduk di kursi panjang yang ada di dekat pantai. Angin laut yang dingin menyapu wajahku, tapi rasanya seperti sebuah pereda yang menyegarkan. Hazel duduk di sebelahku, memberikan sebuah handuk kecil yang basah untuk menyeka keringat di dahi. "Mungkin kamu kebanyakan minum," ujarnya sambil tersenyum tipis, "Kamu harus berhati-hati, ya."
Aku hanya bisa tersenyum lemah. "Sepertinya saya berlebihan malam ini, maaf ya jadi mengganggu."
"No, bukan masalah besar," jawab Hazel, "Mau aku antar ke kamar, Pak?"
Aku mengangguk pelan, merasa semakin malas untuk bergerak. Hazel, dengan sabar, membantu aku bangkit dan berjalan perlahan ke arah resort. Bibirku dengan lemah bergerak sendiri, berkata, "Mmm... Boleh saya minta antar ke rumah?" Aku merasa begitu tidak sopan, tapi belum mampu mengontrol ucapanku sendiri.
Tanpa banyak bertanya, Hazel tersenyum dan mengajakku menjauh dari resort. Untungnya kesadaranku saat itu tidak sampai hilang, aku masih mampu menunjukan jalan dan berkomunikasi dengan Hazel.
"Minum berapa banyak tadi?" Hazel tiba-tiba bertanya. Aku yang berusaha mendapatkan kesadaran mengacungkan enam jari, padahal aku hanya minum dua ke tiga gelas malam itu. Konyol sekali.
Hazel tertawa sambil menganggukkan kepalanya. "A drunk man, huh?"
"Ya Tuhan, maaf saya melantur..." Kalimat itu begitu saja keluar membuat Hazel kembali menertawakanku.
Suasana sekitar yang tenang dan suasana hati yang mulai membaik membuatku merasa sedikit lebih lega. Aku bisa mendengar suara tawa dari kejauhan, sementara Hazel terus mengobrol ringan, memastikan aku tidak merasa canggung atau tidak nyaman.
Di perjalanan pulang, meskipun mataku terasa berat, aku tahu satu hal: kehadiran Hazel di saat-saat seperti ini memberi rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Ternyata, orang sebesar dirinya dapat memposisikan diri sebagai orang biasa seperti diriku.
"Rumahnya cantik sekali," samar-samar aku mendengar Hazel mengatakannya saat kami mulai memasuki pekarangan rumah. "It would be a great pleasure to live here, Sir."
"Thank you..."
"Sure, di mana kuncinya?"
Aku merogoh semua saku celanaku seperti orang pikun, padahal jelas aku ingat kunci rumahku ada di saku kemeja saat itu.
Hazel kembali tertawa melihatku kebingungan, beruntung aku menemukan kunci itu, dan Hazel membawaku masuk.
Setelah itu, ingatanku mulai mengabur. Segala yang ada di sekitar seakan memudar, suara Hazel yang lembut pun perlahan hilang dari pendengaranku. Aku hanya bisa merasakan tubuhku semakin lelah, dan dalam sekejap, semuanya menjadi gelap, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberiku ketenangan yang kuinginkan.
Kakek pasti marah melihatku membawa wanita masuk ke rumah.
Shinta; Bagian Ketujuh.