Ramayana.

62 5 0
                                    

Hari yang indah di Argheta saat itu, masyarakat terlihat sibuk mempersiapkan Festival Galungan yang akan segera digelar.

Festival Galungan memiliki makna mendalam dalam tradisi dan kepercayaan masyarakat Bali. Secara harfiah, Galungan berarti "naiknya jiwa-jiwa leluhur." Festival ini merupakan perayaan penting dalam agama Hindu Bali yang melambangkan kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan).

Selama Festival Galungan, masyarakat Bali merayakan kemenangan kebaikan dengan melaksanakan berbagai kegiatan keagamaan dan budaya. Festival ini juga menjadi waktu untuk menghormati leluhur, memberikan persembahan kepada Dewa, dan mempererat hubungan antarwarga.

Dalam konteks spiritual, Galungan juga melambangkan momen di mana roh-roh leluhur turun ke bumi untuk memberkati dan melindungi umat manusia. Oleh karena itu, Festival Galungan dianggap sebagai waktu yang sakral dan penuh makna bagi masyarakat Bali.

Seorang kakek berusia sekitar 60 tahun dengan penuh perhatian memandu cucunya agar tidak terpisah dalam kerumunan. Banyak masyarakat yang antusias menonton pertunjukan tari di tempat tersebut.

Sambil menonton, sang cucu diajari tentang sejarah tari dan kepercayaan masyarakat terkait Festival Galungan. Anak laki-laki berusia 12 tahun itu terlihat sangat tertarik dengan cerita dan kepercayaan yang terkait dengan perayaan tersebut.

Setelah menonton pertunjukan tari, sang kakek segera membawa cucunya keluar dari kerumunan. Mereka naik delman dan duduk dengan nyaman di atas kursi penumpang. Meskipun sang cucu ingin bertanya banyak hal, kehadiran kuda dan suasana jalanan membuatnya lebih merasa senang daripada penasaran.

Delman memang memberikan hiburan yang menyenangkan.

Argheta semakin mempesona setiap harinya, terutama ketika dinikmati dari atas delman yang melaju dengan santai. Anak laki-laki itu begitu terfokus sehingga tidak menyadari mereka sudah sampai di tujuan. Sang kakek meminta cucunya untuk menunggu di luar sementara dia masuk ke dalam ruangan.

”Mungkin ada hal penting dan rahasia,” gumam sang cucu.

Anak itu mulai meneliti sekitarnya, memperhatikan nama ruangan dan arsitektur bangunan dengan seksama. Banyak orang datang meskipun hari raya masih berlangsung. Masyarakat terlihat bergegas pergi ke sini setelah selesai, terlihat dari pakaian dan aksesori tradisional yang mereka kenakan. Sama seperti anak laki-laki itu, belum mengganti pakaian, kain, dan udeng yang tengah ia kenakan.

Setelah 10 menit mengamati sekitarnya, anak itu akhirnya menyadari bahwa mereka berada di kantor catatan sipil. Dia merasa lega karena akhirnya mengetahui tempat kedatangan sang kakek ke kantor tersebut. Walaupun belum begitu paham kantor pemerintahan hari itu, dia yakin urusannya sangat penting.

Beberapa menit kemudian, sang kakek selesai dengan urusannya. Dia keluar dari ruangan sambil membawa dokumen di lengan kanannya. ”Ayo pulang, Rakael,” ajaknya.

Raka, sang cucu, langsung menoleh dan menganggukkan kepala. Mereka berjalan bersama, menyamakan langkah keluar dari dalam kantor itu.

Saking fokusnya Raka melangkah, dia baru menyadari bahwa sang kakek tengah menyodorkan sebuah map berwarna biru padanya. Rasa penasaran terpancar dari raut wajahnya, tetapi sang kakek meyakinkannya untuk membuka map tersebut.

Tanpa ragu, dengan cepat ia membuka dokumen itu, ingin tahu hal penting apa yang perlu dilakukan bahkan di tengah hari raya begini.

shintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang