Are we?

25 4 0
                                    

Saat aku terbangun, aku merasa tubuhku terbaring nyaman di atas kasur. Selimut tebal menutupi tubuhku, dan meskipun kepalaku masih terasa berat, rasanya jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Aku mencoba membuka mata, namun pandanganku masih kabur. Setelah beberapa detik, mataku mulai fokus, dan hal pertama yang terlihat adalah wajah Hazel yang duduk di samping tempat tidurku. Dia menatapku dengan ekspresi campuran cemas dan lega.

"Hazel?" suaraku keluar serak, seperti sudah lama tidak digunakan.

Dia tersenyum tipis, meski masih ada kecemasan di matanya. "How do you feel? Kamu hampir gak bisa jalan semalam."

Aku mencoba mengingat-ingat kejadian semalam, tapi yang ada hanya kekosongan. "Maaf... Saya lupa apa lagi yang terjadi semalam."

"Aku pastikan kamu sampai dengan aman," jawabnya lembut, "Setelah itu, kamu tidur. Kamu pasti capek."

Aku tersenyum tipis lalu mencoba menggerakkan tubuh, namun kepala langsung berputar dan aku terpaksa menunduk, menarik napas dalam-dalam. "Saya... sepertinya mabuk sekali ya tadi malam?" Tanyaku lalu terkekeh.

Hazel tertawa pelan, bukan tawa yang menggoda atau mengejek, tapi lebih seperti tawa yang menenangkan. "Mmm, lebih dari sekadar mabuk. Tapi jangan khawatir, gak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang—kecuali mungkin baju kamu..."

Aku terdiam sejenak, bingung. Tidak detik berikut aku menyadari bahwa pakaian atasku hilang entah kemana.

Aku mulai menatap Hazel sedikit takut, ada pertanyaan besar dibenakku. Dengan ragu aku membuka mulut, "Are we...?"

Dia melanjutkan tawanya, dan aku bisa merasakan wajahku memerah. "Of course we're not, Sir! Kita gak melakukan apapun yang bisa membuat kamu malu—kecuali mungkin kamu harus lebih hati-hati dengan cara kamu tidur."

Aku menatapnya dengan ekspresi campur aduk antara lega dan bingung. "Jadi... kita?"

"Kalau begitu, kamu harus bersyukur," jawabnya sambil menyeringai nakal. "Malam ini aku lagi baik, jadi aku gak apa-apakan semalam."

Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Terima kasih, Hazel... For everything."

Hazel mengangguk dan berdiri dari tempat duduknya. "Karena udah bangun, mungkin kamu butuh tidur lebih lama, dan mungkin juga makan. Aku mau siapkan sesuatu."

Aku tak sempat menjawab apapun karena dia segera pergi, satu pertanyaan terus berputar di kepalaku meski terasa aneh untuk ditanyakan. Dengan sedikit keberanian, aku akhirnya bertanya.

"Kamu gak takut gandeng pria mabuk malam-malam?"

Hazel berhenti sejenak dan menatapku dengan tatapan tajam namun lembut. "Nope, kalau macem-macem tinggal dorong tubuh kamu ke jalan, biar ditabrak mobil sekalian."

Aku tersenyum tipis. Jokes gadis ini ternyata boleh juga.

-

Tak lama setelah Hazel pergi, aku memutuskan untuk bangkit dan menuju kamar mandi. Kepalaku masih agak pusing, tetapi aku bertekad untuk bangun. Saat aku masuk ke kamar mandi dan melihat diri ku di cermin—rambutku berantakan, wajahku kusam—aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil tertawa kecil melihat betapa konyolnya penampilanku.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu. "Rakael?" suara Hazel terdengar di luar.

Aku membuka pintu sedikit dan melihatnya memegang alat cukur. "Need some help?" katanya sambil tersenyum lebar.

Aku sedikit terkejut tapi tak bisa menahan tawa kecil. "Kenapa kamu repot-repot? Saya bisa sendiri kalau ini."

Hazel melangkah masuk tanpa menunggu izin dan memposisikan diriku di depan cermin. "Honestly, I'm just a little curious." Hazel berdiri di depanku memunggungi cermin. Aku diam saja saat itu, membiarkan Hazel memotong rambut di wajahku yang sejujurnya tidak terlalu panjang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

shintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang