Night Visitor by kiwi05622

BAB 3

Saat membuka matanya yang berat, kepala Draco terasa linglung, mulutnya kering, dan kandung kemihnya penuh. Perlahan, dia menoleh hingga menemukan nampan makanan tidak tersentuh di lantai dekat mejanya; dia tahu dia telah tidur lebih lama daripada biasanya jika dia melewatkan jaga pagi. Dia berusaha keras untuk menjaga rutinitas di tempat ini, untuk bangun sebelum sarapan tiba; itulah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk menjaga dirinya tetap waras, tapi saat ini memikirkan untuk makan apa pun membuat perutnya mual.

Meskipun konsep waktu asing di Azkaban, Draco begadang lebih lama dari biasanya pada malam sebelumnya untuk menulis surat kemarahannya kepada Granger. Lampunya sudah lama padam, memaksanya menyipitkan mata saat dia menulis setiap kata yang marah dengan jelas. Andai saja dia mempunyai bulan di punggungnya sebagai sumber cahaya, namun yang ada justru awan yang lebih menggelora dan kilat yang acak.

Menatap langit-langit, Draco fokus pada latihan pernapasan yang diajarkan terapisnya untuk menenangkan pikirannya dan menghilangkan rasa pening yang dia alami saat bangun tidur. Namun dia menghela nafas lega karena belum terbangun dari mimpi buruk. Saat-saat seperti ini jarang terjadi, karena mimpi buruk sepertinya lebih sering terjadi, dan dia bersyukur karenanya.

Setelah menenangkan pikirannya yang berpacu, dia merasa malu dengan reaksi berlebihannya terhadap surat yang dia terima dari Granger. Mereka bukan teman; mereka tidak pernah melakukan percakapan yang bersahabat, dan satu-satunya saat mereka berinteraksi, dia akan menerima siksaan dan intimidasi darinya. Dia merasa mual memikirkannya. Jadi, pada kenyataannya, Granger tidak seharusnya dipaksa untuk membalas dengan cara yang sama meskipun surat Draco lebih menyentuh hati daripada yang dia kira seharusnya dia tulis. Jika perannya dibalik, dia tidak akan repot-repot membaca surat itu.

Tapi Hermione Granger bukanlah Draco Malfoy. Hatinya lebih murni daripada hatinya, dan menurutnya dia bukan tipe orang yang menyimpan dendam. Sebaliknya, dia akan mempertahankannya sampai hari kematiannya. Namun, dengan bantuan penyembuh pikirannya, setelah bertahun-tahun duduk bersamanya dan tidak memberinya jawaban yang lebih umum, dia akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri untuk melewati mereka. Penyembuhnya telah membantunya memahami bahwa jika perubahan harus terjadi, dia harus memulainya dari dirinya sendiri, untuk memaafkan dirinya sendiri.

Draco harus mengakui, dengan enggan, bahwa mengirimkan surat-surat ini terasa membebaskan.

Sambil mengalihkan pandangannya dari makanan yang menunggunya, dia memperhatikan dua amplop yang tersegel rapi tergeletak penuh harap di mejanya—satu baru ditulis untuk Granger dan satu lagi untuk penerima surat terbarunya: Luna Lovegood.

Kerutan di keningnya semakin dalam saat dia mengingat kembali kekejaman yang dia tulis pada suratnya kepada Granger malam sebelumnya, merasa konyol karena dia telah menciptakan sesuatu karena dorongan hati. Dia telah menulis hal-hal yang terlintas dalam pikirannya tanpa banyak memikirkan kata-katanya atau dampak yang bisa ditimbulkannya. Meskipun kata-kata yang tertulis sepenuhnya benar untuknya, itu tidak berarti bahwa dia mungkin bersikap kasar bukan kepalang. Tidak, surat itu tidak bisa dikirimkan kepada Hermione. Dia perlu mencabik-cabiknya, mencabik-cabiknya; andai saja dia bisa membakarnya dari keberadaan. Dia hanya akan menganggapnya sebagai latihan terapi untuk menuliskan perasaannya di atas perkamen.

Pikirannya mulai berpacu dengan pemikiran yang saling bertentangan, bertanya pada dirinya sendiri mengapa dia tidak mengirimkan surat itu pada Hermione. Draco benar-benar merasa jika ada orang yang bisa lebih memahaminya, itu adalah Hermione, dan dia benar-benar ingin membuat dia mendengarkan. Namun pada saat yang sama, setelah dia terbangun dari tidurnya yang penuh kemarahan, dia menyadari bahwa dirinya sangat tidak dewasa; mengharapkan sesuatu yang lebih dari Hermione adalah hal yang menggelikan.