4. Kehancuran Tak Pernah Usai

2.3K 131 8
                                    

Sirine ambulance memecah heningnya malam, tegangnya para tenaga medis memberikan pertolongan pertama pada tubuh yang bersimbah darah. Tetes demi tetes berjatuhan menggenangi pijakan, bahkan beberapa kali suntikan pembeku darah tak mampu menghentikan pendarahan hebat raga yang lelah.

Dua orang tenaga medis berusaha menstabilkan detak yang semakin hilang, memasukkan selang ventilator ke bibir nan membiru, menekan dada yang hanya diam tanpa pergerakan.Tubuh itu begitu pucat bagaikan tanpa aliran darah, mata yang sedikit terbuka hanya menampilkan putihnya saja, membuat Ellen dan Dion yang memegang tangan terkulai tak kuasa menahan tangis.

Tubuh Ellen bergetar, merasa dejavu ia seperti dihadapkan Fero yang sedang sekarat di depan matanya. Bahkan lebih sakit menyaksikan tubuh itu hanya pasrah saat perawat memukul dada itu berungkali.

"Kita akan kehilangan dia! Ayo percepat!" teriak salah satu perawat yang memompa oksigen ke selang ventilator.

Tangis Dion pecah, memegang lembut tangan yang terkulai lemah. "Ayah ... hiks."

Ellen mencium berungkali tangan yang dikotori darah. "Aku tau kamu kuat ... hiks ... demi aku ... demi anak kita."

Tibalah mereka di rumah sakit, brangkar Elang didorong cepat ke pintu IGD, salah satu perawat tak pernah lelah melakukan CPR dan perawat lainnya terus memompa oksigen.

Tibalah mereka di rumah sakit, brangkar Elang didorong cepat ke pintu IGD, salah satu perawat tak pernah lelah melakukan CPR dan perawat lainnya terus memompa oksigen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ellen dan Dion setia memegang tangan Elang, hingga langkah dihentikan saat akan masuk ke IGD. Mereka tidak boleh masuk, hanya bisa menunggu dari luar.

Ellen jatuh terduduk di pelukan Dion, menangis keras di bahu anaknya. Apakah ia akan kembali kehilangan? Jujur, ia mulai menerima Elang, ia hanya sakit setiap kali melihat wajah Elang begitu mirip dengan Fero, dan itu alasan ia memilih Elang menjadi suaminya.

Terdengar langkah cepat mendekati mereka. Herlambang, Mahendra, Yumita, dan Launa tak kalah kacaunya dengannya.

Ellen melihat papi dan maminya, tapi kenapa orang tua Fero juga ikut bersama mereka? Pikirnya.

"Apa yang terjadi? Mana anakku? Dia tidak di dalamkan?!" Launa memegang kedua bahu Ellen dengan derai mata.

"Anak?" bingung keluarga Herlambang.

"Elang anak kami yang hilang! Elang adalah Fano kembaran Fero," lirih Mahendra diakhir kalimatnya, Meremas kuat kertas hasil tes DNA.

Launa dan Herlambang baru saja menerima hasil tes DNA, dan benar saja 99,9% hasilnya cocok dengan Mahendra sebagai orang tua kandungnya.

Ellen memundurkan langkahnya, menggeleng cepat bahwa apa didengarnya salah. Ia ingat, dulu Fero sering menceritakan kembarannya yang hilang, dan kembarannya adalah suaminya sendiri. Secara tidak langsung Elang adalah paman Dion.

Sungguh kejutan yang membuatnya semakin bersalah, pantas saja Elang begitu mirip dengan Fero. Yang ia tahu, selama ini Elang hidup sebatang karang, tidak tahu keluarganya dimana.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang