Dion tak mengerti jalan hidupnya akan serumit ini. Awal ia mengenal dunia, ia dihadapkan dinginnya keluarga, hidup hanya mendapat perhatian sang Ayah, tanpa Mama menyertainya.
Dulu Dion berpikir, kesialan hidupnya karena kesalahan fatal sang Ayah yang membuat Mama terpuruk, hingga mengabaikan Dion kecil yang butuhkannya figurnya.
Ayahnya seolah tidak terjadi apa-apa setiap kali berusaha mendekati Mama, walaupun penolakan lantang menghunus tajam. Tak jarang, Mama memakinya dengan sumpah serapah, yang membuat Dion kecil beranggapan ayahnya adalah orang yang brengsek.
Dion tak tahu pasti pertengkaran orang tuanya karena apa, tapi yang jelas, Ayah membuat Mama terluka.
Setiap detik ia berdoa, agar Tuhan membuat mamanya bahagia. Namun doanya seakan hancur setiap ayahnya datang, membuatnya benci akan hal itu.
Semenjak saat itu, Dion kecil tumbuh menjadi anak yang pemberontak setiap kali ayahnya berusaha mengangkrabkan diri dengannya. Ia semakin berani membentak ayahnya, bahkan melakukan kekerasan walaupun ayahnya selalu bersikap lembut kepadanya.
Tak jarang, Dion melihat dengan jelas, bekas pukulan yang ia layangkan menghiasi tubuh ayahnya, ada rasa bersalah setiap kali melihat senyum bodoh itu.
Bahkan tanpa sadar, ia ikut menyumpahi ayahnya tanpa memikirkan akibat kedepannya. “Lebih baik kau mati!” kata-kata itu sering ia ucapkan setiap melihat mamanya menangis karena ayahnya.
Sekarang, Tuhan membuka pintu untuk doa-doa itu. Perkataan omong kosong Dokter sebelumnya meluluh lantakkan hatinya.
Rasanya begitu sakit sampa ia lupa bagaimana untuk berpikir tenang, sungguh ia ketakutan. Ia begitu tak sanggup menemui ayahnya, rasa bersalahnya semakin membuncah terbayang-terbayang kejadian naas itu merenggut kebahagiaan keluarganya.
Tanpa mempunyai tujuan yang jelas, Dion pulang ke mansion dengan lesu. Langkahnya semakin melambat saat sampai di lantai dua, tempat dua kamar yang saling berhadapan di sana.
Ia tahu siapa pemilik kamar itu, bahkan ia tak pernah sanggup menerima kenyataan, bahwa kedua orang tuanya selama ini tak pernah sekamar. Dari dulu ia begitu penasaran kenapa kedua orang tuanya seperti orang asing.
Dengan langkah berat, Dion memutuskan masuki salah satu kamar. Ketika menapaki ruangan, matanya berkaca-kaca melihatnya.
Foto-foto masa kecilnya terpampang di dinding ruangan, dadanya sesak saat langkah semakin dekat dengan nakas sebelah kasur. Disana, terpajang foto keluarga kecilnya dengan raut Mama yang dipaksakan tersenyum di tengah mereka.
Dion ingat, ketika ia masih kecil meminta kepada ayahnya untuk mengajak Mama untuk foto bersama, lantaran ia iri melihat teman-temannya memamerkan kebahagiaan keluarganya. Mama awalnya menolak keras, sampai bantingan vas bunga terdengar jelas oleh Dion kecil.
Dapat ia saksikan, Papa bersujud di kaki Mama untuk mengabulkan satu permintaannya itu, merendahkan harga dirinya demi permintaan kecilnya, berakhirlah foto keluarga yang dipaksakan bahagia.
Tak sengaja, perhatian Dion teralihkan melihat handycam di laci meja yang tak tertutup rapat. Dengan penasaran, tangan beruratnya, mengambil benda elektronik itu, membuka video yang tersimpan, memutar salah satu video dengan derai air mata.
“Halo Dion sayang. lihat Ayah, Nak?” ayahnya mengarahkan kamera ke buntalan kecil yang memunggunginya. Sontak saja mengalihkan perhatian kecil yang sibuk bermain.
Senyum polos Dion kecil tercetak menyejukkan di mata, hingga ayahnya berbinar memandanginya. Dengan hati-hati ayahnya mengapit kedua ketiaknya, dan memposisikannya berdiri menghadapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me
RomansCinta tak pernah salah melabuhkan rasa, mengisi kekosongan yang tak pernah diinginkan, hingga hati yang dipaksa menerima, menggoreskan luka tak pernah iba. Hingga hari itu tiba, penyesalan menghancurkan egoisan semesta, membuka tabir ketulusan jiwa...