BAB 6

3 0 0
                                    


Sementara tidur di pangkuan Hans, Miskha mempermainkan janggut suaminya yang memiliki bulu tipis itu. Sejak kehamilannya memasuki bulan ketiga, sifat manja Miskha semakin berlebihan. Lelaki itu hampir saja kewalahan memenuhi permintaannya. Masak malam hari, gerimis-gerimis, meminta mie seblak yang level akut. Setelah ia turuti dan hidangkan, malah disuruh memakan suaminya. Karuan saja besoknya lelaki itu nggak bisa ke kantor karena perutnya mules-mules. Eh, dokter muda ini bukannya ngasih obat malah tertawa senang ketika suaminya harus bolak balik ke toilet. Tingkah konyol yang lain masih banyak, semuanya membuat Hans hampir marah besar, tetapi mengingat bayi yang sedang dikandungnya membuatnya bertekuk lutut.

Mas Nana terkena imbasnya juga, karena hampir setiap pagi ia suruh kerokin punggungnya gegara semalaman disuruh tidur di lantai. Ia pernah bicarakan ke papa, agar Miskha dibawa ke kampung, supaya ia bisa fokus ke perkerjaan. Miskha malah menangis tidak mau diam ketika aku tinggal ke kota. Akhirnya aku malam-malam ke kampung mengambilnya lagi. Diiringi dengan wajah cemberutnya sepanjang jalan.

"Awas kalau Mas Hans asingkan aku lagi ke kampung, aku akan nangis lebih keras, agar orang se-kampung tahu kalau Mas Hans jahat!" katanya marah ketika di dalam mobil.

"Sudahlah, nduk. Mas-mu capek, kasihan to jam segini suruh jemput kamu," kata mami sambil mengelus anaknya. Hans hanya dapat menahan napas.

Akhirnya mami yang mengalah ikut ke kota biar bisa ikut mengawasinya.

Dan sialnya, dia tidak mau tidur sendiri di kamar, harus ada suaminya, walau tidur di lantai beralaskan kasur tipis. Ketika mama menyuruh pembantu untuk mengambilkan springbed buat Hans, Miskha malah melotot dan melarangnya.

"Ya gitu, ma. Setiap malam seperti ini. Untungnya sekarang aku sudah agak kebal, nggak masuk anginan seperti di awal-awal." Hans mengacak rambutnya yang sudah memanjang karena nggak boleh potong.

"Heh, jabang bayi mbok jangan nakal sama bapak. Kasihan tuh bapak yang sudah tak terurus itu." Mama mengelus perut Miskha, seolah bicara dengan bayi dalam kandungan.

Ternyata keluhan mama manjur juga, karena besok paginya, dia diperkenankan potong rambut, memakai jas, dan kembali tampil seperti seorang bisnisman.

"Terima kasih ya, ma ...," katanya sambil mencium tangan beliau. Miskha cemberut ketika lupa tidak dia pamiti. Ia memukul-mukul mamanya lembut.

"Kenapa, sayang?" tanya mamanya sambil mengelus perut Miskha.

Ia mengacungkan tangannya. Hans menepuk jidatnya, karena lupa menyalami MIskha.

Hans menyalaminya, dan Miskha malah minta cium di bibir. Ih, bikin malu saja. Mamanya hanya menepuk kening dan menggeleng-geleng gemas melihat tingkah Miskha.

"Dada, sayang ...." Miskha melmbaikan tangannya.

"Kamu nggak ke rumah sakit?" tanya mamanya.

"Agak siangan, ma. Giliran jagaku nanti jam sebelas, tapi ada anak magang yang mau ganti jika aku tidak bisa datang," kata Miskha sambil masuk ke dalam.

Ketika mobil Hans keluar dari halaman, ada sebuah mobil berada di luar pagar. Aku menoleh ke belakang, tetapi tidak tampak siapa yang sedang mengemudikannya.

"Sejak seminggu yang lalu ada yang selalu mengawasi boss. Tampaknya seorang wanita muda. Ketika hendak aku samperin, sudah memundurkan mobilnya dan pergi," kata Mas Rihana.

"Orang jahat ya mas?" tanya Hans agak cemas.

"Dari tabiatnya kayaknya bukan, boss. Coba nanti biar aku sergap secara diam-diam," kata Mas Rihana sambil melirikku lewat spion.

Jangan Pernah Salahkan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang