PERTAMA

6 1 0
                                    

Aku merapatkan jaketku. Menapak ringan sepanjang trotoar jalan Ruakura kota Hamilton. Hari ini hari terakhirku di kota ini, setelah empat tahun menjalani kontrak kerja sebagai tenaga ahli kelistrikan. Perusahaan induk sudah menganggapku pantas menaikkan jabatanku ke posisi insinyur senior, dan akan dilimpahkan ke kantor induk di Kyoto, Jepang. Namun atas permintaanku sendiri, perusahaan itu menaruhku di kantor cabang Surabaya, sebagai direktur operasional. Memang, perusahaan kami menjadi partner utama PLN untuk pengawasan dan pemeliharaan jaringan. Pulau Jawa memiliki tingkat kerumitan jaringan lebih tinggi dibanding Selandia Baru. Sudah barang tentu tantangannya lebih ketat.

Beberapa orang menyapaku ketika memasuki koridor apartemen, tempat aku menginap. Bulan Juni kali ini kerendahan suhunya sedemikian dingin, membuat bajuku yang berlapis masih belum mampu mengatasinya.

Ketika masuk ruangan, barang-barangku sudah selesai dikemas Mas Nana, asisten pribadiku. Beliaulah yang sering pontang-panting menyiapkan kebutuhan sehari-hariku. Saat masuk kamar, aku terpaku di nakas. Sebuah buku tulis ukuran kuarto, sampul bermotifkan ilustrasi gadis memegang bunga, membuatku terkenang beberapa saat. Aku mengambilnya, dan membuka lembar demi lembar. Ada foto-foto kami tertempel di dalamnya.

Renda Galuh Prabusiwi ....

Aku eja nama itu perlahan dalam hati. Sudut-sudut hatiku selalu berbinar sewaktu mengingat nama gadis itu. Seperti kuda jantan yang dilecut, ingatanku langsung menghangat ke beberapa waktu yang sudah tertinggal sekian lama. Masa-masa seragam abu-abu yang penuh gairah dan haru biru. Sampai suatu ketika, setelah lulus SMA, aku bertemu lagi dengannya di kementerian luar negeri.

"Galuh?" tanyaku terbengong. Ia juga kelihatan terpaku, tetapi tidak lama. Ada seorang lelaki bule menyertainya, tetapi tidak menampakkan gestur apa-apa melihat kami berdua.

"Kamu ngapain ikut kesini?" Ia tiba-tiba menyeretku ke taman di depan kantor itu.

Pertanyaan yang aneh, seolah hanya dengung kumbang, karena aku juga masih dikejutkan pertemuan yang tak pernah aku sangka.

"Kamu sendirian ngapain? Ngurus dokumen nikah dengan bule itu?" tanyaku seru.

"Yee ..., enak aja. Dia itu asisten pekerjaanku, bro," elaknya dengan mimik masih seperti dulu. Menggemaskan. Tubuhnya yang tinggi penuh isi membuatku berdecak kagum.

"Awas kalau mikir kotor ...," katanya dengan menimpuk pipiku.

"Ya wajarlah, aku kan normal ...," candaku cengengesan.

"Beneran normal?" tantangnya, lagi-lagi muka nakalnya mengingatkan aku saat SMA.

"Ingin dicoba?" Aku balik menantangnya.

"Langkahi dulu meja penghulu, bro. Wkwkwkwk ...." Dia tertawa. Tampak gigi putihnya tersusun rapi.

Aku masih memandangnya. Dia tertunduk. Agak lama kami saling diam. Tiba-tiba raut wajahnya sendu sekali. Melankolis seperti saat kami berpacaran dulu.

"Buku itu masih ada?" tanya dia. Aku mengangguk.

"Maafkan aku ...," katanya lagi.

"Untuk?" tanyaku.

"Aku pergi tanpa pamit dan tanpa berita." Wajah Galuh tampak sedih.

Kami kembali diam. Mungkin ia mengira hal itu menyakitkan perasaanku, tetapi saat itu aku juga tengah berjibaku dengan soal-soal kuota beasiswa ke Jepang, jadi tidak terlalu kupikirkan.

"Aku sendiri ketika itu juga mati-matian ngerjain soal bea siswa. Justru aku yang seharusnya minta maaf padamu," kataku lirih. Ia menolehku. Tangannya masih menangkup di wajah. Rambutnya yang pendek sebahu ikut menutupi sisi mukanya.

Jangan Pernah Salahkan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang