Ia memandang tanpa berkedip ke arah anak didiknya yang sedang mempresentasikan isu-isu nasional. Kepiawaian Hany mengkolaborasikan berbagai faktor potensi dirinya, membuat ia begitu cepat melejit posisinya. Hanya saja Galuh dirisaukan dengan catatan psycomotorik dari laborat, karakter Hany terlalu ambisius, sangat bahaya jika dijadikan seorang leader. Berkali-kali Galuh mengutarakan ke Hany akan hal ini, tetapi gadis itu merasa tidak ada masalah. Bahkan gadis itu berani mengkritik Galuh terlalu mengacu ke data tanpa mendalami faktualnya.
Dengan setengah kesal ia membuka semua hal tentang nilai kejiwaan Hany yang sudah dianalisa oleh beberapa psikiater terakreditasi. Hany memohon maaf atas kelancangannya, dan akan berusaha mengubahnya. Hanya saja sampai detik ini, dari berbagai laporan yang masuk, sifat ambisius Hany masih belum menunjukkan penurunan. Terpaksa Galuh memberikan rekomendasi minus untuk target maksimal ambisius. Mulai awal bulan depan, Hany sudah di bawah pengawasan komisi karantina karakater, agar potensi ambisiusnya dapat diarahkan ke hal-hal yang positif. Galuh sudah angkat tangan menjadi mentor gadis itu.
"Bagaimana menurut anda, nyonya?" tanya temannya, Gabriella, yang masuk ke komisi karantina sikap. Galuh angkat bahu, dan memberikan argumentasi berbeda.
"Well, kita akan coba metode Sigmund Freud," katanya sambil membuka sebuah notes.
Keduanya terlibat perdebatan kecil di ruangan atas. Akhirnya Gabriella mengakui kebenaran argumentasi Galuh. Ia akan membawanya ke komisi etik, agar ada bantuan bimbingan jalan keluar untuk Hany. Sebagai mentor awal, Galuh menyarankan uji coba lapangan. Jika ia mengacau, kembalikan saja ke Jakarta sebagai staf biasa. Jika dapat berubah perangainya, berikan penugasan lebih lanjut.
Minggu selanjutnya, gadis itu diberi tugas kembali ke Indonesia. Namun dalam surat resminya tidak dijelaskan tugas pokoknya. Hanya akan ada panduan dari penyelia yang menghubungi lewat WA. Hany pulang ke kampung untuk beberapa hari, menuntaskan rasa lelah yang masih mendera.
Sesungguhnya, selama ini ia masih terngiang akan pembicaraan dirinya dengan Mbok Darminah, ibunya Hans. Ketika itu Hany mengantar makanan ke sawah untuk pekerja. Saat ia sedang duduk santai memperhatikan padi yang sudah menguning, Mbok Darmin, ketika itu masih sehat, mendatanginya.
"Sebentar lagi sepertinya panen, nduk." Mbok Darmin duduk di sampingnya.
"Nggih, mbok." Hany segera merapikan tempat duduk yang akan ditempati Mbok Darmin.
"Sudah selesai sekolahmu?" tanya Mbok Darmin.
"Nggih, sampun. Mau lanjut kuliah, mbok." Hany sesekali menatap orang tua itu.
"Mbok nggak usah kuliah, nikah sama Hans saja, mau?" tanya beliau. Hany menatap tegang. Baru kali ini dia mendengar penawaran seperti itu.
"Saya masih terlalu kecil untuk nikah. Lagian Mas Hans apa mau?" tanya Hany memberanikan diri. Orang tua itu terkekeh.
"Sudah segede ini dibilang kecil. Tinggimu lho sudah di atas simbok," kata beliau.
"Tapi kan masih belum pantas menikah to mbok," jawab Hany semakin akrab.
"Misalnya Hans mau, apakah kamu juga mau menikah dengannya?" tanya Mbok Darminah semakin mendesaknya.
Hany hanya tersenyum. Ia memang pernah melihat Hans ketika masih sekolah di SMA, dan Hany masih duduk di bangku SMP. Ganteng sih, tapi Hany waktu itu masih penakut mendekati seseorang.
"Nggak tahu, mbok," jawab Hany.
"Kalau mau, nanti aku tak main ke rumahmu, melamarmu." Beliau terdengar serius.
Hany kelihatan gemetar mendengar hal itu. Hany baru lulus SMA dua minggu yang lalu ketika itu. Tidak buru-buru menyetujui atau menolaknya. Hingga suatu ketika terjadi obrolan ringan di antara abinya dengan orang tua Hans.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Pernah Salahkan Cinta
RomansaSeorang Pengusaha sukses yang terjebak dengan cinta masa lalu, dan akhirnya harus menjatuhkan pilihannya ke gadis lain, padahal ada skenario lain yang ia tidak mengerti, bahwa masih ada satu gadis yang pernah dilamarkan orang tuanya untuk menjadi is...