Untuk yang kesekian kalinya Miskha harus ke toilet, mual-mualnya semakin menjadi. Hanya saja tidak setiap saatn hal itu terjadi. Mungkin jika membaui sesuatu atau tempatnya tidak familiar, kandungannya seperti memberontak. Ia merapal ucapan yang diajarkan mamanya, agar di jabang bayi jangan nakal. Mengingat yang seperti ini, kadang membuatnya tersiksa, tetapi ia sadar, jika hanya memiliki satu putra, suatu ketika akan menyesal. Manakala Ringga sudah besar dan terbang dengan cita-citanya, tentu rumah mereka akan sepi, tinggal mereka berdua. Makanya, Hans demikian berhasrat ingin menambah momongan lagi. Setidaknya punya empat anaklah, bilangnya. Miskha hanya pasrah saja mendengar permintaan suaminya itu.
"Sudah minum vitamin?" tanya dokter Hendy, spesialis kandungan.
"Belum, selalu terlupa sih," jawabnya.
"Segera minum gih, wajahmu pucat gitu, nanti suamimu marah, kirain aku teledor njagain kamu. Lelaki panasan gitu, kalau marah ngomongnya nyungsep di ulu hati," keluh dokter senior itu. Miskha hanya tersenyum.
"Istirahat di dalam saja, biar dokter magang yang ngerjain," nasehatnya lagi.
Miskha hanya menurut. Sebetulnya nggak enak juga kalau sering absen melayani pasien, mau gimana lagi, tetapi pihak rumah sakit juga bisa memahami kok. Malah tenaga kerja yang sedang hamil malah mendapat prioritas pelayanan.
"Bu, ada seseorang mau ketemu njenengan," kata asistennya.
"Siapa? Dimana?" tanya Miskha penasaran.
"Di areal parkir, katanya mau mengajak keluar sebentar," katanya lagi.
"Laki-laki?" tanya Miskha.
"Wanita, bu. Seumuran njenengan." Asisten itu masih tetap berdiri dekat pintu.
Miskha menanggalkan baju prakteknya. Lalu berbisik ke dokter magang yang membantunya. Ia berjalan agak tergesa-gesa ke areal parkir. Ada seseorang melambaikan tangannya dekat mobil warna abu-abu. Miskha belum mengenalnya, baru pertama kali bertemu. Namun setelah mendekat, wajah itu pernah dilihatnya di sebuah buku yang pernah ia baca.
"Mbak Galuh?" tanya Miskha.
"Iya, saya Galuh. Kamu Miskha 'kan?" Galuh mengulurkan tangannya.
Mereka berjabatan tangan. "Kita ngobrol di luar yuk."
Miskha menyetujui ajakan itu. Sang sopir membukakan pintu untuk mereka. Galuh menyisi lebih masuk untuk memberi tempat duduk ke Miskha.
"Hans mengirimkan fotomu ke WA-ku. Ternyata kamu lebih cantik dari foto yang dia kirimkan," kata Galuh sambil memperlihatkannya. Nah, dasar suami jahat, itu kan foto ketika dirinya yang lagi ngambek gegara nyidam.
"Jih bikin malu saja itu lelaki." Muka Miskha langsung menebal.
Galuh tertawa, "Jangan terlalu keras. Hans itu sekalipun perfeksionis, sisi humanisnya selalu membuat teman satu kelas kami tertawa."
Miskha menoleh ke Galuh. Sepertinya benar apa yang dikatakan Galuh, lelaki itu selalu dapat mencairkan suasana di saat tegang, tetapi juga dapat membuat suasana menjadi hening sekalipun dalam waktu bersenda gurau.
"Begitu dapat WA-mu, aku langsung pesan tiket. Penerbangan dari Perancis sempat delay beberapa jam di Turki. Aku belikan syal beludru ini khusus untuk kamu." Galuh memberikan sebuah bingkisan, tetapi transparan, sehingga barangnya tampak jelas terlihat.
"Terima kasih, mbak," kata Miskha sambil memegangi tangan Galuh.
"Sama-sama. Sekali-kali ajak Hans untuk jalan-jalan ke luar negeri, biar pikiran tidak beku, Mis. Penting pergi ke tempat-tempat romantis demi melanggengkan pernikahan kita," kata Galuh membuat Miskha termenung. Ada benarnya juga usulnya itu, batin Miskha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Pernah Salahkan Cinta
RomansaSeorang Pengusaha sukses yang terjebak dengan cinta masa lalu, dan akhirnya harus menjatuhkan pilihannya ke gadis lain, padahal ada skenario lain yang ia tidak mengerti, bahwa masih ada satu gadis yang pernah dilamarkan orang tuanya untuk menjadi is...