K E T I G A

8 0 0
                                    


Seharian ini pikiran Miskha gelisah parah. Kata-kata Hesti tiga hari hari yang lalu kembali mengiang-ngiang di ingatannya.

"Cinta membutuhkan kesediaan berkorban untuk memperjuangkan kebahagiaan bersama. Tidak harus menunggu orang lain yang memulai pengorbanan itu," kata Hesti.

Miskha tidak tahu, apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Mengapa dia menolak tawaran Hesti yang mengajaknya ke Surabaya menemui Hans. Jika ditelusuri, jelas sekali kalau lelaki itu mengaku kangen dengan Miskha, begitu juga dengan dirinya, tidak perlu menutupi bahwa ia pun juga rindu dengan lelaki itu. Seharusnya tidak perlu malu untuk mengakui. Ataukah, egonya begitu tinggi hingga harus Hans yang datang padanya?

Memang, selama ini jumlah pertemuan yang terjadi di antara mereka sudah menumpuk. Namun, selama ini justru Miskha yang sering datang ke rumah Hans. Belum sekalipun, lelaki itu datang ke rumah Miskha. Keeratan dan keintiman yang terjalin hanya sebatas lewat gawai, tidak pernah ada niat untuk meluangkan waktu untuk bertemu di luar rumah, di tempat-tempat romantis. Hanya satu kali, ketika awal berkenalan saja, itupun waktunya sangat singkat sekali. Sepertinya Hans ini tipe perfeksionis, seperti halnya dirinya. Boro-boro berlibur, yang ada di antara mereka adalah sibuk bekerja setiap waktu. Miskha sendiri juga terlalu asyik dengan dunianya sendiri, begitu juga dengan Hans. Sampai kapan hal ini akan berakhir, Miskha sendiri tidak berani mengutarakannya kepada Hans.

Miskha menyandarkan kepalanya ke kursi malas di ruang kerjanya. Pasien yang ada ia berikan ke mahasiswa magang. Berkali-kali ia menatap Hpnya, menunggu centang satu pada notifikasi WA Hans. Padahal pesan itu ia kirim sejak jam sembilan malam kemarin. Belum berubah sampai detik ini, padahal sebentar lagi ia pulang ke rumah tempat praktek mandiri.

Tiba-tiba perasaan bersalah mendera dirinya karena menolak ajakan Hesti waktu itu. Atau, jangan-jangan kekasihnya ini sakit hingga tidak bisa membuka Hpnya.

Miskha bergegas keluar ruang praktek dan menelphon Hesti.

Miskha : Assalamu alaikum ....

Hesti : Walaikum salam, iya, mbak.

Miskha : Sibuk ya ?

Hesti : Normal saja. Tumben nelphon ....

Miskha : Mas Hans nggak papa 'kan?

Hesti : Nggak tahu sih, kenapa emangnya?

Miskha : Masak WA-ku dari tadi malam centang satu terus

Hesti : Sudah WA Om Nana?

Miskha : Kamu saja yang WA coba'

Hesti : Yee ..., situ yang cemas kok malah nyuruh orang lain

Miskha : Nggak lucu tau ..., sudah gih ..., kualat nglawan calon kakak ipar

Hesti : Yee ..., maunya. Iya-iya ... saya telphon Om Nana.

Telphon ditutup. Miskha menoleh ke seluruh arah. Beberapa orang yang melihatnya tersenyum. Ia membalas dengan ramah, sekedar menutupi hatinya yang sedang kalut. Ia menuju ke meja resepsionis rumah sakit untuk pamit pulang dengan alasan tidak enak badan.

Beberapa saat kemudian sebuah mobil warna putih keluar dari areal parkir rumah sakit dan menghambur ke ramainya lalu lintas jalanan. Tujuannya satu, ke bank tempat kerjanya Hesti. Baru sekali hatinya terbanting oleh ketidaktenangan. Padahal selama ini semua permasalahan yang ia hadapi tidak pernah sebingung itu. Duh, inikah yang dinamakan kasmaran? Bisa membuat seseorang bersikap lebih gila dan nekad.

Ia parkir mobil di seberang bank, karena memang areal parkirnya sempit dan sudah dipenuhi oleh motor orang-orang yang berkepentingan dengan bank itu.

Miskha menulis pesan singkat di WA. Tidak menunggu lama, Hesti terlihat berjalan menuju ke mobilnya. Gadis cantik itu terlihat santai membuka pintu mobilnya.

Jangan Pernah Salahkan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang