02

26 10 2
                                    

"Bahkan sebuah pertemuan sesaat masih memiliki makna di dalamnya."

*****

Sudah hampir seminggu berlalu sejak Maura pindah kelas. Berita maupun gosip tentang si anak beasiswa yang didepak dari kelas unggulan masih sering dibincangkan.

SMA Atma Jaya, sebuah sekolah terkenal dengan ramai peminat di setiap sudut kota Jakarta. Menerima siswa beasiswa jalur prestasi dengan persyaratan ketat, dan kuota terbatas. Tapi apa? Ada siswi yang menerima beasiswa itu dan bahkan menempati peringkat satu pararel, sebagai juara umum dua tahun terakhir. Jangan lupakan piala dan piagam yang sudah berjejer atas namanya di lemari penghargaan sekolah.

Maura sudah berada di kelas unggulan IPA 1 sejak kelas sepuluh. Kelas yang penuh ambisi untuk menjadi puncaknya Atma Jaya. Memang benar, kelas mereka bukan hanya sekedar label saja tapi memang semua isinya adalah siswa-siswi berprestasi kebanggaan sekolah, entah di bidang akademik maupun non-akademik.

Tapi persaingan mereka kadang diluar batas wajar. Salah satunya adalah pembulian. Tidak hanya satu atau dua orang yang tidak mampu bertahan, akhirnya pindah sekolah karena tidak menerima pemindahan kelas oleh pihak sekolah.

Posisi Maura sebagai murid beasiswa tidak terlalu membantu, dan sekarang si anak beasiswa itu didepak dari kelas unggulan dan sialnya lagi dilempar ke kelas berlabel kelas buangan.

Ah, bukan kesialan, justru ini sebuah nikmat yang tiada duanya bagi seorang Maura. Sudah sejak dulu ia ingin pindah, tapi tidak ada izin. Terlebih, ia jadi sekelas dengan teman SMP nya, Zhena.

"Angkat tangan yang bener!" Suara Bu Retno mengalihkan Maura dari hayal belakanya. Cewek itu sedang dihukum berjemur di tengah lapangan sembari hormat ke bendera merah putih kebanggaan negara.

"Sialan si Zhena, padahal Bu Retno aja ga ada nyariin gue." Umpat cewek itu sambil bergumam, temannya itu menipunya.

"Loh? Saya ga ada nyariin kamu. Siapa yang bilang?" Ekspresi heran dan bertanya muncul di wajah guru galak itu.

"Lah, tadi si Zhena.."

"Nahh ini nih Bu! Yang loncat dari pagar sekolah tadi, yang saya ceritain. Pake kabur-kaburan lagi, bikin saya capek." Pak Yon si penjaga sekolah tiba-tiba saja muncul entah dari mana.

"Heh, fitnah Pak! Orang saya lagi belajar tuh di kelas, belajar matematika." Dengan lihai cewek berambut ikat kuda itu berdalih. Tanpa sadar disebelahnya Bu Retno sudah mengambil satu penggaris panjang miliknya, siap menghukum siswi nakal itu.

"Capek Bu. Udah 'napa?" Maura memelas iba walau tampangnya sekusut benang tanpa penjahit, tapi tetap saja Bu Retno tidak peduli. Beliau sibuk dengan buku tebal yang entah berapa halaman itu di tangannya.

Lagi pula, Maura heran. Apa guru itu tidak masuk kelas untuk mengajar? Kenapa dari tadi tidak beranjak dari sana?

Melihat kanan kirinya, sekolah ini sepi. Penghuni gedung A memang selalu tertib dan teratur, mana ada siswa di sana yang akan bolos untuk sekedar membeli piscok di kantin sekolah atau rebutan risoles terkenal Budhe di area belakang sekolah dekat gedung IPS.

"Bu, pingsan saya Bu. Tolongin, pusing banget," drama kecil cewek itu tidak ada hentinya sedari tadi. Bu Retno kagum bahkan sampai ingin memasukkan ke klub teater.

"Punya guru gini amat ya, bukannya spek yali yali malah mirip yakuza."

"Saya tambah dua jam lagi."

"Becandaa Buu."

Enigma KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang