Senja

18 1 0
                                    

Senja kala itu ditepi pantai, Jingga menatap keindahannya dengan secangkir coklat yang sedang Ia pegang. Semilir angin menyapa lembut wajahnya, membelai setiap helai anak rambut. Rutinitas ini hampir seminggu tidak Ia lakukan, karena seminggu ini hampir setiap hari hujan turun. Itu sangat menyiksanya, karena hujan, Jingga hanya berdiam diri dikamar dan tidak ada Senja yang bisa Ia lihat. Menatap senja mengingatkannya pada ucapan Ibu kala itu.

" Nak, menurutmu kenapa namamu Jingga?."

" Karena aku lahir pada waktu senja mungkin?."
Jawab Jingga dengan polos.

Ibu tertawa kecil sambil menggeleng mendengar jawaban Gadisnya.

" Bukan."

" Lalu?."

" Namamu bahkan tidak ada kaitan nya dengan waktu kamu lahir, heh."

" Jingga, Ibu memberi nama itu karena Ibu berharap suatu hari nanti kamu hidup seperti senja. Jingganya yang selalu hangat dan selalu dirindukan. Indah dan selalu dinantikan setiap orang." Lanjut Ibunya.

Jingga tersenyum menatap Ibunya,  Ia berharap bisa menjadi senja. Senja yang selalu dirindukan. Menurutnya bisa berbincang dengan Ibunya seperti ini adalah hal yang paling menyenangkan.
Ia kembali tersadar dari lamunannya, terkadang Ia sangat merindukan Ibunya. Tapi tidak jarang juga Ia merasa kesal, karena Ibunya mudah sekali  terhasut gunjingan tetanggga yang selalu berbicara tentangnya, bahwa perempuan seusianya seharusnya sudah menikah. Itu juga menjadikan alasan untuknya mengapa Ia berada sangat jauh dari Ibunya sekarang.

Jingga memutuskan untuk melanjutkan kuliah keluar kota untuk menghindari perjodohan yang sering Ibunya lakukan, tapi sampai kapan Ia harus menghindar. Kuliahnya sebentar lagi akan selesai dan mau tidak mau Jingga harus pulang ke kampung halamanmya dan Ia harus siap dengan segala pembicaraan tetangga maupun keluarganya. Entahlah kadang Ia bertanya-tanya kenapa harus menikah? Kenapa harus nikah cepat? Padahal menurutnya itu adalah pilihan yang harus Ia tanggung seumur hidup. Dan satu lagi, bukan nya Ia tidak ingin menikah tapi Ia benar benar terjebak dimasalalunya. Padahal kejadian itu sudah 5 tahun yang lalu, tapi entahlah perasaaannya tidak pernah berpaling dan tidak pernah berubah untuk laki-laki yang selalu Ia nantikan kehadirannya.

Jinggga masih menunggunya, walaupun mungkin sekarang Ia sudah bahagia dengan pilihannya. Entah kenapa, Jingga masih yakin dia pasti akan kembali. Setelah 5 tahun Jingga masih menunggu ditempat ini. Ditempat pertama kali mereka bertemu, ditempat yang masih sering Ia kunjungi, disini Ia masih merasakan kehadirannya. Laut, menjadikan alasannya tetap hidup sampai sekarang. Birunya laut selalu mengingatkannya kepada kekasih yang tak pernah sedikitpun mau Ia hilangkan dari ingatannya, Jingga selalu merasa bahwa sekarang Ia sedang berbicara dengan Laki-laki yang selalu Ia nantikan. Biru, Ia masih menunggunya.

5 Tahun lalu

Waktu itu senja 31 Desember, ditepi pantai dibawah sinar senja dan deburan ombak. Jingga dan Biru duduk dipasir pantai sambil memandang jingga nya yang indah. Saking indahnya sampai Ia mengira Senja akan selamanya.Padahal senja selalu akan pergi saat langit gelap mulai tiba. Ia selalu mengira mereka akan selamanya seperti ini.

" Jingga, aku gak bisa lanjutin hubungan kita. Kita cukup sampai disini ya, aku harap kamu gak ketemu lagi dengan manusia sepertiku l." Ucap Biru sambil menatap manik mata gadis yang ada dihadapannya.

" Kenapa Biru? Apa ada kesalahanku yang membuatmu sampai mengambil keputusan itu?."

Biru tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

" Justru karena kamu gak pernah ngelakuin kesalahan, aku selalu ngerasa jahat sama kamu, Jingga."

" Aku gak ngerti maksud kamu, kenapa kamu tiba-tiba bilang gitu." Jawab Jingga dengan mata yang sudah berkaca-kaca sejak tadi saat mendengar penuturan Biru.

Matanya yang selalu tidak bisa menyembunyikan rasa sedih, takut, dan kecewa akhirnya tak sanggup menahan air mata yang sedari tadi terbendung.

" Jingga, kamu tau? Masih ada langit yang berwarna biru dan masih banyak bintang dilangit yang pantas untuk kamu." Biru mengusap air mata yang membasahi wajah mungil gadisnya dengan lembut menggunakan ibu jarinya, sesekali Ia merapihkan rambut Jingga yang sesekali tertiup semilir angin.

" Tapi Biru nya laut gak akan pernah terganti." Ucap Jingga dengan wajah penuh harapan, berharap Biru merubah keputusannya untuk pergi.

" Besok aku udah gak disini Jingga, aku harus pergi dan jangan nungguin aku, ya?." Jawab Biru.

Nihil, Ia tidak bisa menahan Biru untuk tetap bersamanya, bahkan Air mata yang sejak tadi terus menerus mengalir tidak membuat Biru Iba melihatnya lalu mengubah keputusannya untuk tidak pergi.

Senja kala itu menjadi senja yang paling Ia benci, senja memang selalu kalah oleh malam yang mengusirnya pergi. Tapi senja selalu kembali esok hari. Dan ya, Ia memutuskan akan selalu menunggu senja kembali, disini. 

SAMUDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang