09

162 53 2
                                    

Kenzie menduduki kursi yang ada di balkon rumahnya. Mata sayu tersebut menatap lurus ke depan, tangan kanannya memutar-mutar pulpen dan tangan kiri yang memegang buku catatan.

"Sekarang gue harus gimana?" gumamnya bertanya pada diri sendiri, sebelum tangan itu bergerak untuk menuliskan sesuatu.

Takut. Itu yang Kenzie tuliskan di buku catatannya.

Takut? Kenapa? Takut jika dirinya dihantui? atau takut jika misinya diketahui? Hanya ada satu kata, namun membuat semua orang bertanya-tanya.

Tapi sebentar, Kenzie kembali menuliskan sebuah kalimat di dalamnya.

Nggak, gue nggak takut. Di kejar? Gue hadang.

Kenzie terkekeh penuh arti sebelum merobek kertas tersebut dan melipatnya menjadi beberapa lipatan hingga rapi dan muat untuk dimasukkan ke dalam saku celananya.

Saat hendak berdiri dari duduknya dan beranjak pergi, langkah Kenzie terhenti karena ponsel yang ada di saku celananya itu berdering, menandakan adanya notifikasi yang masuk.

Kenzie langsung mengambil benda pipih tersebut lalu mengecek. Siapa yang ingin berurusan padanya di pagi hari seperti ini?  Dengan wajah melas, Kenzie membuka notifikasi yang ternyata pesan dari Seno. Sebelah alis Kenzie terangkat sembari membaca pesan itu.

Seno : "Ken, sibuk nggak? Temenin gue ke makam Narel sama Rafka dong. Gue kangen, pengen ketemu mereka."

Jari jempol Kenzie mengetik cepat di keyboard ponselnya, membalas chat dari Seno.

Kenzie : "Pas banget! gue juga mau ke makam mereka. Tungguin ya. 7 menit lagi gue nyampe."

Kenzie mematikan ponsel dan menaruhnya kembali ke dalam saku celananya. Ia bergegas turun ke lantai bawah dan mengambil jaket kulit berwarna biru tua.

Di lantai bawah, Kenzie melihat jika ada sang Ibunda yang sedang duduk di sofa sambil memainkan ponsel. Sebelum pergi, Kenzie tak lupa berpamitan terlebih dahulu kepada ibunya.

"Bu, Ken mau ke makam."  Singkat, walau tidak dijawab dengan kata-kata, tapi ia tetap di beri anggukan sebagai tanda persetujuan oleh sang Ibu.

Senyum merekah terpampang jelas di wajah Kenzie. Ia berlari keluar dari rumah dan menaiki motor lalu menyalakan mesin motornya dan melaju kencang menuju tempat Seno.

Tepat pada pukul 09.34 Kenzie pun tiba di depan rumah Seno, matanya langsung bisa melihat jika si sahabat juga sudah siap di atas motornya sendiri. Di balik helm AGV full face nya, terlihat ada ekspresi bingung di wajah Seno.

"Katanya tujuh menit, tapi kenapa cuma 4 menit aja? Lo ngebut?" tanya Seno dengan suara datar.

Kenzie cengengesan dibuatnya. Jelas kalau dia ngebut di jalanan, karena memang seperti itu kebiasannya.

"Belum pernah ngerasain ciuman sama aspal." Seno bernafas berat lalu menjalankan motornya lebih dulu dari Kenzie. Kenzie hanya bisa mengekor dibelakang Seno. Jujur saja, Seno menggunakan kecepatan yang menurut Kenzie itu sangatlah lambat.  Ia sangat ingin membalap Seno, tapi takut jikalau ia diceramahi saat di rumah pribadi mereka nanti.

Sahabatnya itu memang berusia lebih muda darinya, namun memiliki pola pikir yang sangat dewasa. Seno tidak pernah mengambil keputusan sebelah pihak, tanpa adanya persetujuan dari pihak lain. Seno selalu menjadi air jika diantara mereka sedang terbakar api emosi. Seno selalu menjaga keadaan sahabat-sahabatnya dan rela melakukan apa saja, agar mereka selalu bahagia.

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang