Bab 2 (Ujian kenaikan kelas)

132 109 25
                                    

Happy Reading


Hening... suasana begitu tenang layaknya pemakaman. Tempat yang biasanya ramai, menjadi sepi. Langkah-langkah dari sepatu pantofel terasa bergema dalam ruangan. Mata setajam elang dengan lensa yang bertengger pada hidung terus mengawasi. Berjalan memutar dengan sesekali menunduk untuk melihat, mengecek apakah ada contekan?

Guru wanita dengan rambut pendek dan kacamata lensa yang bertengger di hidungnya mengawasi anak-anak yang sedang menggarap soal ujian. Guru wanita yang sudah berkepala empat itu mengawasi dengan mata elangnya yang seolah tidak berkedip. Terdapat peraturan tidak tertulis dalam ruang kelas ini. Pertama, jangan menatap mata guru itu ketika jadi pengawas ujian. kedua jangan menoleh apapun yang terjadi. Yang ketiga usahakan jika menyontek tidak ketahuan. Seperti saat ini, Rendy yang berusaha memberikan sinyal pada Rasya untuk memperoleh jawaban. Dan kebetulan, kesempatan langka datang ketika guru pengawas itu keluar untuk menerima telepon. Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh anak-anak.

"Sstt... Asya?" panggil Rendy pada Rasya yang berada di depannya.

Rasya menoleh, dan mendapati dua jari dari Rendy. Nomor dua? Tunggu ada tambahan, dua...satu, dua puluh satu? Baiklah. Rasya menoleh sebentar kearah kertas jawaban miliknya lalu kearah Rendy. Menunjukan jari telunjuknya yang berarti "A" dan balik bertanya kepadanya. Nomor satu...lima, lima belas. Rendy menunjukan empat jarinya yang artinya "D" menoleh kearah pintu, waspada jika guru tiba-tiba masuk, dan benar saja selang beberapa menit guru dengan mata setajam elang yang diketahui sebagai Bu Tuti masuk.

Bel pertanda waktu ujian berbunyi. Mengharuskan anak-anak untuk mengumpulkan kertas ujian dan keluar ruangan. Hembusan napas lega dikeluarkan setelah keluar dari ruang kelas. Untungnya tadi tidak ketahuan oleh Bu Tuti. Rendy memanggil Rasya yang sedang berbicara pada seorang teman perempuan kelasnya, mengajak mereka untuk ke kantin bersama. Perutnya lapar dan butuh asupan. Mereka bertiga berjalan beriringan dengan sesekali berbincang mengenai soal ujian tadi.

Rasya sangat asik berbincang-bincang dengan teman perempuannya yang diketahui namanya Helena Engelina, hingga membuat Rendy merasa terabaikan. Rendy menatap Helena sinis. Merasa jika Helena merebut perhatian Rasya darinya. Helena yang ditatap Rendy seperti itu merasa tidak enak. Menggaruk tengkuknya, menatap sekeliling. Hingga sampailah mereka di kantin. Mereka mengantri untuk pesan sebelum duduk pada kursi dan meletakan pesanan dimeja. Rasya menatap heran pada raut wajah Rendy yang masih cemberut. Apa ini, apakah suasananya sedang buruk, pikirnya. Ia memutuskan untuk bertanya.

"Ren, kenapa?" Tanyanya menepuk pundak Rendy.

"Aku gak suka dia," jawabnya sambil menunjuk Helena. Rasya terkejut, begitupun dengan Helena.

"Loh, kenapa? Emang Lena salah apa?"

"Aku salah apa ya kak?" Tanya Helena dengan wajah bingung.

"Kamu ngerebut Rasya dari aku," jelas Rendy yang ditujukan pada Helena.

"Idih, kan Lena temen aku! Makanya cari temen"

"Aku kan juga temen kamu!" Rendy kesal.

Rendy membuang mukanya begitu pula dengan Rasya. Sementara itu Helena bingung harus berbuat apa. Helena berusaha untuk mencari cara agar suasana menjadi baik. Ia mencoba untuk berbicara, meminta maaf dan menyuruh mereka untuk berbaikan.

"H-hei jangan berantem dong. Kata Bu guru kan berantem gak baik," bujuk Helena.

"Maafnya gara-gara aku kalian berantem. Yuk baikan,"

"Lena! Kamu gak salah. Yang salah itu Rendy," bela Rasya.

"Lah? Kok aku?"

"Kan kamu cowok"

"Dih"

Rendy menatap Rasya dengan mata melotot sinis. Helena bingung bagaimana caranya agar mereka berhenti bertengkar. Helena tidak punya ide lain selain meminta maaf. Ia pikir ini semua terjadi karenanya. Andai saja tadi Helena tidak terlalu tenggelam dalam pembicaraannya dengan Rasya. Rasya yang melihat itu merasa tidak enak. Ia menyenggol Rendy dan menyuruhnya untuk meminta maaf pada Helena. Dengan berat hati Rendy minta maaf pada Helena.

"Aku yang salah, aku minta maaf Helena. Tapi aku masih tidak terima kamu merebut Rasya. Aauu, sakit"

Ucapnya yang dihadiahi pukulan oleh Rasya. Helena terkekeh pelan melihat tingkah mereka. Ia pikir suasana sudah kembali baik. Mereka pun makan pesanan yang mulai dingin karena didiamkan dari tadi. Mereka pun juga mulai berbincang-bincang tentang banyak hal, dan kali ini Rendy ikut berbincang.

"Eh, kalian mau masuk SMP mana?"

"Belum...," Jawab Rasya menggeleng.

"Orang kelas enam aja belum," ucap Rendy ketus.

"Hehehe... Oh ya bagaimana kalian bisa berteman? Maksudku bagaimana kalian pertama kali bertemu? Kalian tampak akrab sekali," Tanya Helena kepada mereka.

Rendy dan Rasya saling bertukar pandang. Mengingat-ingat bagaimana mereka dulu bertemu. Pertemuan mereka sangat simpel dan sederhana. Sama seperti anak-anak biasanya yang berteman dengan yang lain.

"Itu... Rasya yang pertama kali mulai," jawab Rendy.

"Maksudnya aku yang pertama mengajak berkenalan," jelas Rasya.

"Jadi dulu dimulai saat kami..."


*
*
*

"Dulu saat kecil, kita cemburu melihat teman dekat kita terlihat akrab dengan orang lain, apalagi saat teman dekat kita lebih asik dengan orang lain dibanding dengan kita"

*
*
*

Bersambung

Senja Terakhir (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang