2. kencan pertama.

98 73 52
                                    

hai... welcome home (?).
untuk para pembaca baru, perkenalkan aku Aya, selamat membaca, semoga betah disini <3.

jgn lupa tinggalkan jejak ya ><

✮⋆˙✮⋆˙✮⋆˙

"Karena kalau tidak di lawan, kamu tidak akan tahu, sampai mana kemampuan mu. Dan memang akan sapai kapan, mau terus terjerat di dalam lubangan hitam itu?" -Keyla.

Keyla menuruti perkataan Ara, hingga di minggu ke dua ia libur, ia di ajak seseorang untuk berkencan.

Sebenarnya Keyla juga sedikit ragu, ragu untuk bertemu, ragu untuk berkomunikasi secara langsung.

Beberapa kilasan masa lalu mampir ke dalam sel-sel otak nya, membuat beberapa kenangan itu kembali teringat.

Ia meringis, memukul kepalanya kencang-kencang agar ingatan itu segera pergi.

Kepalanya terasa pening akibat ia pukul sendiri, air matanya mulai membasahi pipi, teringat jelas hal yang pernah terjadi, sesuatu yang membuatnya se-trauma sekarang.

"Gue. Gue gak bisa." ucapnya dengan lirih.

Kilasan-kilasan kenangan itu, membuat sekujur tubuhnya bergemetar, rasa sakit yang menjalar sampai ke relung hatinya, ia benci itu, ia benci dirinya, ia benci masa lalu nya.

Di detik berikutnya, ia melirik jam dinding. Sebentar lagi, ia harus segera bersiap untuk janji yang sudah ia sepakati.

"Gue harus ngelewatin rasa takut gue kan, kalau mau sembuh? Gue harus bisa damai dari itu semua, seenggaknya untuk hari ini aja."

Ia bangkit dari duduknya, bergegas untuk bersiap. Menyakinkan diri nya, bahwa ia tak apa.

"aku udah siap ka, kakak udah dimana?"

Setelah mengirim pesan singkat itu, Keyla keluar dari kamar kost nya, dengan pakaian casual nya, terlihat santai namun elegan di saat yang bersamaan.

ting.

Ponselnya berbunyi, ia melirik notifikasi pesan masuk di layar ponselnya.

Dari Haris.

"aku udah di depan, nih."

Segera ia menghampiri Haris, laki-laki yang akan ia kencani hari ini, untuk pertama kali nya setelah kejadian itu.

Balutan hoodie putih dan celana jeans dengan bagian lutut yang sobek, terlihat sangat cocok dikenakan Haris.

"Hai," Haris menyapa lebih dulu, di balas senyuman canggung dari Key.

"Rumah kamu lumayan jauh juga ya."

Key mengangguk, "Iya, karena kakak dari Jakarta Timur ke Jakarta Barat. Wajar aja kalo jauh."

Keyla merasa canggung, baru kali ini ia merasa secanggung ini, padahal biasanya, Key akan bersikap seolah ia adalah manusia ekstrovert yang suka berbasa-basi.

Keyla beranjak naik ke atas motor, masih menjaga jarak dengan laki-laki di depannya. Benar-benar canggung, sepanjangan perjalanan Haris yang selalu membuka suara, bertanya ini dan itu tentang Keyla.

Sampai Haris memberikan satu sisi AirPods nya pada Keyla, mereka mendengarkan lagu bersama, di atas motor, jalan kemana saja tanpa tujuan yang jelas.

Sampai, lagu Cincin - Hindia terputar, mereka bernyanyi bersama.

Keyla mulai merasa nyaman, mulai mampu terbawa suasana. Setidaknya tidak lagi merasa canggung.

"Mau nyari makan dulu gak? Atau minum gitu?" ujar Haris, yang sebenarnya ia merasa agak lelah karena menyetir terus tanpa tujuan sejak tadi.

"Boleh, tapi kalo kakak tanya aku mau kemana, aku gak tau jawabannya."

Haris melirik ke arah spion, yang sudah ia atur menjadi ke arah wajah gadis itu. Diam-diam merasa gemas.

"Kalo kakak ajak beli es di pedagang kaki lima pinggir kali kayak gini, kamu mau?" Tidak. Haris hanya bercanda, dan tidak serius. Tapi,

"Boleh."

Haris berpikir, entah ini benar Keyla meng-iya kan nya, atau juga hanya sekedar iseng menjawab.

"Yakin mau di pinggir kali?" tanya nya, mencoba meyakinkan kembali.

"Ya, kenapa engga?" jawab Keyla tanpa ragu.

Satu yang ada di benak Haris, dia berbeda. Tidak memikirkan gengsi, dan segala hal lainnya.

Ia memberhentikan motornya di pinggir kali yang ia bicarakan, memesan dua gelas es untuknya juga untuk Keyla.

Mereka berdua duduk di atas batu pembatas, kali ini Keyla mulai mendominasi, mulai mampu mengikuti alur kemana Haris bercerita, dan mulai mampu mengimbangi laki-laki itu.

"Dari tadi aku terus yang cerita, kamu cerita juga dong, Key," ucap Haris.

Keyla terdiam sebentar, "Aku gak tau harus ceritain apa, gak ada yang terdengar seru untuk di ceritain."

"Ya cerita aja, semisal tentang hobi kamu, gitu? Atau, gimana hari-hari kamu di hari kemarin, aku dengerin kok."

Keyla terlihat tengah berpikir, menerka akan kah Haris akan mendengarkan tentang hobi nya?.

"Kalau aku bilang, aku hobi menulis, apa tanggapan kakak?" suara nya terdengar sangat hati-hati.

Sejujurnya Keyla hanya takut, takut kalau Haris sama seperti yang lainnya, memandang sebelah mata tentang kesukaannya itu.

"Loh? Kamu penulis dong? Ya bagus, kamu punya value jadi terdengar seru kalau kita bersama. Kamu bisa ceritain apapun ke aku tentang itu, kebetulan aku juga suka hal-hal mengarah ke seni," Haris nampak antusias menjawabnya.

Keyla melega, ternyata laki-laki di hadapannya ini tidak seperti yang ia pikirkan.

Keyla terdenyum, "tapi aku udah lama gak lanjut."

"Kenapa, Key? Kenapa gak di lanjut?"

"Kata mama, itu cuma buang-buang waktu," masih dengan senyum yang sama, kali ini senyuman itu lebih dalam, terlihat jelas ada luka di sana, di mata indah itu, dan senyum itu.

Haris mengerti, pasti sangat menyebalkan jika mimpi dan angannya di anggap remeh oleh seseorang, terlebih oleh orang tua sendiri.

Haris mengangkat lengannya, mengusap lembut puncak kepala Key, "Kalau gitu, sama aku kamu harus lanjutin hobi kamu. Aku yakin kamu bisa jadi penulis hebat."

Hati Key terasa tenang, sudah lama ia tak merasa se-tenang ini.

✮⋆˙✮⋆˙✮⋆˙

haloo, terimakasih sudah mampir sampai sini. jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak yaa ><

sampai ketemu di chapter berikutnya.

salam hangat, SPRA.

Jakarta Timur di bulan agustus kala itu. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang