36 | Finally Safe

170 27 9
                                    

(Picture isn't belong to me)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Picture isn't belong to me)

*

“Ayah, semesta itu apa?”

Saat Calypso berusia 3 tahun, gadis kecil itu pernah bertanya saat Shanks mengajaknya jalan-jalan ke ladang lavender liar di salah satu pulau tak berpenghuni. Tangan kecilnya memegang erat tangan ayahnya, satunya lagi menyentuh bunga lavender yang tingginya hampir setara dengan tinggi tubuhnya. Kepalanya mendongak menatap pria tersebut yang menghalangi sinar matahari di balik tubuhnya.

Shanks terdiam, dia terlihat sedang berpikir. Beberapa detik kemudian dia menunduk, mengangkat tubuh Calypso untuk berdiri di atas bebatuan yang berada di tengah-tengah ladang tersebut. “Apa yang kau lihat, Calypso?” tanyanya.

Calypso mencurutkan bibirnya. Lantas dia berkacak pinggang. “Bunga lavender?”

“Selain itu?” tanyanya lagi.

“Ada pohon, ada rumput, ada ... Umm ... Langit, ada tanah, ada udara—oh! Ada semut!” Calypso tiba-tiba berjongkok, menunjuk seekor semut besar yang berjalan di sekitar kakinya. Shanks menyentil serangga tersebut, agar tidak menggigit kaki kecil gadis itu.

“Banyak sekali bukan yang ada di ladang ini?” tanya Shanks. Gadis kecil itu mengangguk antusias. Sepertinya dia sudah lupa dengan pertanyaannya barusan, sebab kini dia mulai tertarik dengan lumut kecil serta tanaman pakis yang tumbuh di bebatuan tersebut.

“Kau ibaratkan seperti ladang ini, Calypso. Sangat luas. Ada banyak hal yang terdapat di sini, seperti yang kau sebutkan barusan.”

Calypso menatap ayahnya bingung. “Aku tidak mengerti apa yang Ayah bicarakan. Aku tidak memiliki ladang lavender.”

Shanks tersenyum. Dia mengelus kepala si kecil dan membetulkan sejenak lengan gaunnya yang geser dari bahunya. “Coba kau bayangkan, bagaimana jika yang kau lihat sekarang dirusak oleh seseorang? Tidak ada lagi bunga lavender, tidak ada lagi pepohonan, dan semua hewan mati. Apa yang akan kau rasakan?” tanyanya.

Gadis berusia 3 tahun itu cemberut. Perlahan dia menjawab, “Aku akan sedih ...”

Pria berambut merah itu kembali mengelus kepalanya. “Itu yang Ayah akan rasakan jika sesuatu yang buruk terjadi padamu.”

Calypso terdiam. Dia mendongak menatap ayahnya yang berdiri tepat di belakangnya. Senyum manis terukir di bibir pria itu, mata cokelat gelapnya menatanya dengan teduh. Perlahan Shanks mendekat, dan mengecup keningnya.

“Kau segalanya bagiku, Calypso. Kau segalanya.”

Memang saat itu Calypso masih kecil, tapi entah kenapa dia paham apa yang dikatakan ayahnya. Bahkan dari tatapannya saja, gadis itu paham bahwa dia benar-benar dicintai dan disayangi olehnya. Dia tidak memiliki ibu, bahkan dia tidak mengenal siapa wanita itu. Dia hanya mendengar sekilas tentangnya. Tapi entah kenapa memiliki seorang ayah saja sudah sangat cukup baginya.

Under The PaintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang