Pagi-pagi buta 5 lelaki sudah bangun dari tidurnya yang nyenyak. Dini hari, Seno pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan keempat orang lainnya menunggu di lokasi, dimana mereka akan membakar jaket milik Narel.
Seno memang sengaja ditinggal karena ia disuruh Daren untuk membawa kotak berisi jaket tersebut.
Usai mencuci wajah, Seno keluar dari kamar mandi sembari menyeka air di wajahnya menggunakan tisu. Seno melangkah menuju lemari, tempat ia meletakkan kotak itu pada tadi malam. Namun, langkahnya terhenti tepat di samping lemari karena ia baru menyadari ada kejanggalan. Di samping lemari itu, Seno sama sekali tidak ada menemukan kotak tersebut. Ia lantas keheranan dan langsung mencari keberadaan kotaknya.
Seno membuka lemari, menggeser serta mengobrak-abrik isi lemari milik Renan yang banyak baju-baju bergantungan di sana.
"Semalam rasanya gue taruh di samping lemari ini, tapi sekarang kok gak ada? Atau gue mungkin lupa aja? Terus ini gimana? Ck! Gue harus hanya dulu nih dimana letak kotak itu, mungkin aja ada yang mindahin," Seno bergumam dan diakhiri dengan decakan kesal.
Ia langsung berjalan menuju pintu kamar, ingin menemui sahabatnya untuk bertanya siapa yang memindahkan kotak itu. Tapi, lagi dan lagi langkah Seno terhenti. Senyuman mengembang di sudut bibirnya kala kedua mata melihat benda yang ia cari-cari dan ternyata sekarang ditangkap oleh netra nya.
Kotak itu ada di hadapannya. Namun bukan di samping lemari, melainkan di bawah meja belajar Renan. Seno tidak memikirkan apa-apa lagi, bahkan ia tidak berfikir kenapa kotak itu bisa berpindah tempat. Seno mengambil kotak tersebut lalu berlari keluar dari rumah.
Di halaman belakang, Seno meletakkan kotaknya di hadapan mereka berlima. Alvaro memegang sekotak korek api dan menyalakan api nya. Sebelum Alvaro melemparkan korek itu pada kotak yang berisi jaket, Alvaro memandang teman-temannya terlebih dahulu.
"Ikhlas, 'kan?" tanya nya.
"Ikhlas atau nggak, kita semua harus ikhlas. Kita nggak bisa hidup penuh teror kayak gini terus, bisa bahaya." ucap Daren.
"Bahaya? Baru dua, loh, yang mati?" sahut Kenzie dengan nada yang sangat pelan. Tidak ada seorang pun yang mendengar perkataannya kecuali satu lelaki yang berdiri di sebelahnya. Renan. Lelaki itu langsung menatap tajam ke arah Kenzie, sorot matanya seolah-olah menyuruh Kenzie berhati-hati dalam berbicara.
"Gue bakar, ya? Maaf, Narel," Alvaro berujar dan melemparkan korek itu pada kotak di depannya.
Secara spontan saja api langsung menyambar karena Daren sudah menyirami bensin pada kotak tersebut.
Daren menatap ke arah kobaran api, kedua bola matanya memantulkan gambaran betapa cepatnya api itu memakan kardus. Bagai predator yang mendapati mangsanya, sudut bibir sebelah kirinya terangkat.
Beberapa menit menunggu, akhirnya api itu padam dengan sendirinya dan hanya menyisakan abu. Alvaro berjongkok, mengambil abu tersebut dengan menggunakan kedua telapak tangannya. Alvaro memandang lekat kearah abu, bekas terbakarnya jaket Narel. Ia tidak bisa membendung air matanya dan Alvaro menangis sambil menundukkan kepala.
"Gue nggak sanggup!" Alvaro mengerang, mengeluarkan seluruh unek-unek yang dipendam melewati erangannya pada saat itu.
"Siapa yang nyuruh lo buat nangis? Bangun, lo harus kuat."
Suara itu membuat Alvaro mengangkat kepalanya dengan perlahan. Saat kepala sudah mendongak, Alvaro terkejut bukan main karena mendapati dirinya tidak berada di halaman belakang rumah. Alvaro merasa ia sedang duduk di sebuah tanah basah dengan dua gundukan tanah dihadapannya. Alvaro tahu dimana ia sedang berada. Pemakaman.

KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TUJUH ENAM [Proses Terbit]
De Todo[PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa ke-enam remaja laki-laki pada tahun 2024 ketika menempati sebuah rumah bernamakan "Rumah Kita" menuai perbincangan warga sekitar. Tak jarang mereka berfikir, "mungkinkah...