N: Alana's Point of View
___
Namaku Alana Adela Jovarnka. Orang-orang menjuluki ku Lahir untuk menjadi Bangsawan. Tapi, tidak dengan pandangan ku.
Apa itu sahabat? Aku hanya punya satu.
Namanya Gea Jessica, putri pemilik kedai ayam goreng. Dia cerewet dan tak punya urat malu tapi dia tak seperti yang lain.
Baru saja ingin tidur tiba-tiba suara nyaring menyerang telingaku. "Alana!" Itu suara dari Gea, benar-benar nyaring, kemudian aku merasakan ia duduk di bangku samping ku, "Pulang sekolah kita ke museum, ya?" Ujaknya.
Mendengar kata museum, aku memperbaiki posisi duduk ku. "Buat apa?" Tanyaku.
"Buat apa? Hello Alana," ia melambaikan tangannya di depan mataku, "Buat tugas sejarah lah, apa lagi? Kita kan harus nyari tau tentang Majapahit, apaan lu ini?!" Kesalnya.
Oh, astaga! Aku baru ingat, kemarin Bu Patmi memberikan kami tugas untuk mencari tau tentang Majapahit dan segala halnya.
Aku mengangguk. "Tapi traktir ayam goyeng ya," bujuk ku.
"Anak holkay tapi pengen ditraktir, bener-bener lo ya!" Gea memutar bola matanya malas sedangkan aku hanya terkekeh.
Kami pun ikut mengobrol hal lain dengan siswa lain. Ada yang menggosip, menggibah, dan bahkan mendekatiku secara halus.
Beberapa jam kemudian, akhirnya sekolah dibubarkan dan seluruh siswa pulang ke rumahnya masing-masing.
Aku berjalan keluar dari gerbang sekolah bersama Gea. Sebuah mobil berhenti tepat di depan kami, itu adalah supir pribadi ku yang diangkat oleh ayahku.
"Non, ayo masuk." Ucapnya.
"Gak deh, Pak. Gue masih mau ke museun bareng Gea," ujarku menolak secara halus.
"Baiklah, non. Biar saya antar," ucapnya.
Benar-benar kekeh!
Dengan terpaksa, aku mengajak Gea untuk baik mobil ke museum. Di mobil, Gea terus meminta untuk memutar musik favoritnya, yaitu KPop dan sialnya dia memutar banyak lagu hip-hop.
Sebagai penggemar lagu ballad, aku tidak terlalu menyukai hip-hop karena menurutku itu sangat berisik.
Gea terlalu asik menikmati lagunya hingga kami akhirnya tiba di depan museum. Aku bahkan paksa menarik Gea keluar dari mobil dan melambaikan tangan kepada supir.
Kami masuk bersama-sama dan langsung disuguhi berbagai pahatan kuno dan arsitektur yang monarki.
Gea berlari ke arah sebuah lukisan seorang raja. "Ini Raja ke-empat Majapahit, Sri Maharajasanegara." Ujarnya sambil memotret lukisan itu dengan kamera yang ia bawa.
Aku memperhatikan lukisan itu, walaupun hanya sebuah lukisan tapi aku merasakan sesuatu yang tidak asing. Aku dapat melihat wajah dari Sri Maharajasanegara. Dia mungkin Raja tertampan pada masanya.
"Ayo ke tempat lain," ajak Gea dan aku menurutinya.
Gea berhenti di sebuah lukisan seorang wanita. "Ini Putri Sudewi. Permaisuri Majapahit." Ucapnya sambil memotret.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah lukisan menarik perhatian ku, itu hanya mata yang tersisa, mungkin yang lain sudah luntur.
Tunggu!
Luntur? Sepertinya bukan. Tapi, ini seperti dirusak.
Melihat dari bekas sobekan yang hanya dilapisi dengan kain. Sepertinya memang lukisan ini dirusak oleh seseorang.
"Itu lukisan seorang Putri." Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun mendekat, "Para arkeolog menemukannya dengan keadaan yang tersisa tinggal mata. Sepertinya lukisan ini dibakar, kau lihat bekas bakaran itu." Wanita itu menunjuk ke bekas bakar.
Memang benar. Tapi kenapa mereka membakar lukisan ini? Ada yang aneh.
"Anak muda, jangan diperhatikan. Ini sudah lama. Sebaik perhatikan hidupmu ke depannya." Ia benar, itu lukisan lama. Aku mengangguk dan meminta ijin untuk menemui Gea.
Aku berjalan menuju Gea, "Udah, Ge?" Tanya ku.
"Bentar. Kok gak ada Putri Pitaloka? Padahal katanya dia cakep banget, kok gak ada! Ish sebel!" Ucapnya kesal.
"Dia bukannya meninggoy di umur 17, ya? Mungkin belum selesai dilukis," ujarku.
"Heh? Alana hey, menurut sejarah Raja Hayam Wuruk jatuh cinta padanya melalui lukisan, gak mungkin gak ada." Tegasnya. Ia benar-benar berniat mencari lukisan Putri Pitaloka.
Aku yang sudah lelah akhirnya menunjuk ke arah lukisan yang baru kulihat tadi. "Mungkin yang itu tapi gak utuh." Mendengar itu, Gea langsung berlari menuju lukisan yang kutunjuk, aku hanya bisa menggeleng.
"Kok cuma mata?" Gumamnya kesal.
"Entah mana saya tau," ucapku bosan. Aku benar-benar ingin pulang ke rumah, menikmati udara segar di balkon sambil meminum jus mangga.
"Ada masalah apa sih orang yang ngerusak mukanya Pitaloka?!" Tanya Gea kesal. Sepulang dari museum itu terus yang ia gumamkan.
"Iri kali sama muka cakep neng Pita." Ujarku asal.
"Jangan-jangan pengangkatan Putri Sudewi sebagai permaisuri itu tipu daya. Ih kesel! Cewek uler banget sih!" Tebak Gea masih dengan kesal bahkan ia memaki-maki.
"Gea, lo bisa gak sih berenti ngomongin Pitaloka segala? Capek gue tau!" Ucapku, sekarang aku yang kesal padanya.
"Hehe, maaf. Lo kan gak suka sejarah." Ia terkekeh sambil menggaruk tengkuknya.
Akhirnya aku tiba di rumah dengan keadaan yang benar-benar lelah. Aku memasuki kamarku dan melempar tas ke atas kasur dan membaringkan tubuh.
Baru ingin menutup mata, tiba-tiba suara dering ponsel membuatku terbangun. Astaga siapa lagi sih?!
Aku mengangkat telepon, "Halo,"
"Na, Lo di rumah? Ke RS sekarang!"
"Kak, siapa yang masuk RS?"
"Papa."
Sial!
Aku segera mengganti pakaianku dan buru-buru menyalakan motor pribadiku dan melaju menuju rumah sakit.
Aku bahkan tak melihat ada sebuah batu di tengah jalan dan sialnya aku malah terjatuh dari motor yang membuat lututku memerah hampir berdarah. Untungnya aku mengenakannya celana jins dan bukan rok atau celana pendek.
Aku meringis dan mengangkat motorku kembali. Saat motorku sudah berdiri, seorang anak kecil mendekati ku dan memegang tanganku.
"Kakak harus berhati-hati." Ucapnya kemudian berlari pergi meninggalkanku dengan keherananan.
"Anak aneh." Aku kembali menyalakan motorku dan berlalu pergi ke rumah sakit yang dibilang oleh kakakku.
Sesampainya disana, Aku berjalan cepat di koridor. Aku berlewatan dengan seorang pasien yang didorong oleh beberapa perawat dan dokter.
Aku tak peduli.
Tapi, tunggu...
Kenapa tanganku seperti dipegang seseorang?
Aku menoleh. Pasien aneh itu memegang tanganku tapi wajahnya tertutup kain. Aku mengernyit heran, "Apa-apaan nih?"
"Dok, gue mau harus bergegas. Bantu lepasin." Aku berusaha melepaskan genggaman pasien itu, itu sangat kuat. Bahkan beberapa pelayan pun turut membantu tapi tak bisa lepas.
"Nona, ini tak bisa dilepaskan. Tidak apa, kau ikut kami saja." Ujar salah satu dokter.
"Tapi Papa gue... "
"Non, ikut kami saja. Pasien sedang sekarat." Ucap lembut seorang perawat muda.
Aku menyengir. "Sekarat ya? Potong tangannya saja! Gue buru-buru-" ucapku tapi tiba-tiba penglihatan ku menjadi gelap dan kesadaran ku lenyap.
Hey, ini kenapa?
➤; 𝐁𝐄𝐑𝐒𝐀𝐌𝐁𝐔𝐍𝐆↶
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengubah Takdir Putri Pitaloka
Historical FictionTerdampar ke 600 tahun yang lalu. Tepat di jaman pemerintahan Majapahit. Apakah transmigrasi jiwa itu nyata? Itulah yang dialami oleh Alana. Apalagi ia memasuki tubuh Putri Kerajaan yang akan meninggal di usia muda, 17 tahun. Akankah ia berhasil...